Rabu, 20 Juli 2011

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WHISTLE BLOWER DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA


Disusun Oleh
DWI RATNA INDRI H                   E0009117
NARIS NARISTA K                        E0009230
RISKA EGA WARDANI                E0010308 


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsep kedudukan whistle blower yang terdapat pada Amerika Serikat sudah maju. Hal tersebut terlihat dari program kualifikasi yang diadakan pemerintah Amerika Serikat demi mengklasifikasikan keurgensian kesaksian yang diberikan. Dengan klasifikasi tersebut dapat ditentukan tindakan selanjutnya berupa bentuk perlindungan yang bisa diberikan oleh negara. Tak hanya itu disediakan pula  lembaga atau komisi antara lain US Marshal Service, Bureau of Prison[1] dan badan-badan investigasi lainnya yang memberikan perhatian dan perlindungan hukum bagi para saksi dan whistle blower termasuk keluarganya juga. Perlindungan hukum bagi whistle blower dipandang sangat penting melihat kondisi mafia hukum yang tersebar di setiap tahap penegakan hukum dan bentuk perlindungan bagi whistle blower yang masih abstrak.
Di Indonesia, dari fakta yang terlihat whistle blower enggan memberikan kesaksian di muka persidangan. Hal ini karena lemahnya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara bagi mereka dan keluarganya. Contoh kasus tentang lemahnya perlindungan hukum bagi whistle blower adalah kasus mafia hukum dan kasus besar lainnya di Indonesia yang diungkapkan oleh Komisaris Jenderal Susno Duadji.  Namun demikian, Komjen Susno Duadji tidak mendapat suatu perlindungan hukum khusus sebagai saksi atau whistle blower sehingga banyak fakta-fakta mafia hukum yang kemudian tidak jadi diungkapkan olehnya.
Setidaknya ada tiga urgensi yang bisa diungkapkan pentingnya model Perlindungan hukum bagi whistle blower dalam sistem peradilan Indonesia.
Pertama, Model perlindungan bagi whistle blower dalam sistem peradilan di Indonesia diperlukan karena UU yang ada belum menjamin sepenuhnya perlindungan bagi whistle blower.  Kedua, Model perlindungan bagi whistle blower dalam sistem peradilan di Indonesia sangat penting untuk menjamin keselamatan bagi whistle blower dan keluarganya.  Ketiga, Peran whistle blower sebagai saksi kunci atau saksi pengungkap sangat dibutuhkan, apalagi dibongkarnya kasus-kasus besar korupsi di Indonesia berkat bantuan dari whistle blower.
Berdasarkan fakta-fakta dan urgensi perlindungan bagi whistle blower dalam sistem peradilan di Indonesia, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan tersebut yaitu dengan mengadakan penelitian hukum dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Model Perlindungan Hukum bagi Whistle Blower dalam Peradilan Pidana Indonesia”.
B.       Rumusan Masalah
1.    Mengapa whistle blower perlu mendapatkan perlindungan dalam sistem  peradilan pidana Indonesia?
2.    Bagaimana bentuk perlindungan yang tepat bagi whistle blower di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

 
PEMBAHASAN
A.    Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Whistle blower dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1.Pertanggungjawaban Pidana Whistle blower sebagai Pelaku Kejahatan
Whistle blower memiliki peranan dan arti penting dalam membuka kasus-kasus pidana yang berangkaian atau berkaitan. Bahwa suatu peristiwa pidana yang terjadi tidak hanya terjadi satu atau lebih tindak kejahatan dan kesalahan namun dapat diinvestigasi lebih lanjut bahwa perbuatan tersebut dapat ditarik hingga jauh ke belakang dalam rangka mengungkap fakta kejahatan yang terjadi juga pelaku lainnya dengan bantuan whistle blower dan teori Conditio Sine Quanon[2]. Peranan dalam membongkar suatu tindak pidana berada pada whistle blower sebagai cooperating person.
Kedudukan saksi ataupun whistle blower yang dengan kedudukannya tersebut dapat sewaktu-waktu berganti menjadi pelaku akibat pengembangan dan pemeriksaan lebih lanjut. Realita itu sejalan dengan asas yang selalu menjadi kekuatan dari suatu sistem hukum yaitu asas presumption of innocent. Konsekuensi logis dari asas ini salah satunya adalah tidak menutup kemungkinan perluasan pertanggungjawaban pidana pada saksi, maupun whistle blower bahkan korban.
2.      Kepentingan Individu whistle blower vs Kepentingan Negara
Acapkali seseorang yang disangka bersalah pada akhirnya mendapat hukuman meskipun orang tersebut telah dengan berani memberikan kesaksiannya yang sangat dibutuhkan dalam proses pemeriksaan. Dalam kondisi seperti itu suatu tindakan afirmasi bagi whistle blower perlu diterapkan, mengingat “jasa”nya kepada negara dengan memberikan kesaksian yang sangat penting. Tindakan afirmasi berupa pengurangan hukuman yang semestinya diberikan kepada whistle blower yang terbukti bersalah dan harus mempertanggungjawabkan kesalahannya bahkan whistle blower dapat dibebaskan dari segala tuntutan yang ditujukan kepadanya meskipun dia dinyatakan bersalah dengan turut serta atau terlibat tindak kejahatan. Diskriminasi pemidanaan tersebut merupakan reward yang selayaknya diberikan oleh negara kepada whistle blower karena kepentingan negara untuk mengungkap kasus besar dimana whistle blower telah memberikan kontribusi nyata demi terungkapnya kasus serta tidak menyakiti rasa keadilan sosial.
3.       Kepastian Hukum  melawan Kemanfaatan
Ironi ketika seorang whistle blower yang dengan kedudukannya mampu memberikan manfaat besar bagi kepentingan negara dalam mengungkapkan segala proses suatu tindak kejahatan yang terjadi tetapi demi aturan kepastian hukum yang diagung-agungkan. Demi suatu kepentingan negara untuk memperlancar proses peradilan pidana maka prinsip kepastian hukum dengan hukuman bagi seorang whistle blower dapat dikesampingkan dengan alasan yang logis. Bahwa manfaat dari pengakuan whistle blower untuk membantu proses pengungkapan fakta kejahatan yang terjadi merupakan dasar argumentasi yang dapat dipegang.
Berdasarkan penjelasan sub bab di atas maka dapat diketahui bahwa berdasarkan teori pemidanaan seorang whistle blower yang juga sebagai tersangka dalam artian melakukan tindak pidana harus dihukum sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal tersebut untuk menjamin kepastian hukum. Namun demikian, untuk kepentingan negara  yang lebih besar dan kemanfaatan hukum maka kepastian hukum tersebut dapat dikesampingkan. Dalam artian bahwa, seorang whistle blower yang juga terlibat tindak pidana bisa dibebaskan dari hukumannya karena kepentingan negara untuk mengungkap kejahatan-kejahatan yang lebih besar dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.


B.     Model Perlindungan bagi Whistle blower
Bentuk perlindungan berlapis bagi whistle blower antara lain:
1.        Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk perlindungan represif meliputi perlindungan hukum yang diberikan terhadap whistle blower dalam segi antisipasi dari segala tindakan atau resiko yang tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan esensi buku karya Mudakkar bahwa perlindungan yang diberikan negara antara lain represif dan preventif. Perlindungan yang diberikan dalam bentuk secara yuridis maupun fisik.
Sistem perlindungan antisipasi atau represif dengan memanfaatkan lembaga atau badan yang telah ada melalui penambahan  bahkan menguatkan fungsi dan kewenangan dari lembaga tersebut. Butuh suatu terobosan sebagai model perlindungan baik pada saksi dan korban terutama whistle blower. Suatu aktivasi lembaga ini sudah di nanti-nanti agar mampu memfasilitasi perlindungan bagi whistle blower.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah dibentuk pasca dikeluarkan undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum memberikan suatu jaminan perlindungan secara maksimal. Perlindungan baik dalam bentuk fisik maupun hukum tidak terlaksana dengan efektif. Perlindungan hukum tidak akan terlaksana jika tidak ada motor penggerak untuk mewujudkan suatu jaminan perlindungan hukum, dengan begitu dibutuhkan lembaga atau badan yang mampu melaksanakan.
Atas nama suatu badan yang memiliki suatu AD/ART tersendiri dan tidak patut jika dilakukan suatu intervensi pada lembaga tersebut. Good governance sebagai asas yang merupakan dasar dalam menjalankan tugas dan kordinasi dari seluruh lembaga bahwa tidak diperbolehkan suatu lembaga melakukan intervensi pada lembaga lain. Untuk itu sebagai suatu lembaga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat menggunakan hak dan wewenangnya untuk menciptakan suatu perlindungan hukum bagi whistle blower.
Di sisi lain model koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK dengan instansi lain dalam memberikan perlindungan hukum dapat digunakan sebagai upaya preventif agar mampu menciptakan instrumen guna mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam kedudukan whistle blower. Asas-asas umum  pemerintahan yang baik menjadi dasar agar tercipta koordinasi yang harmonis demi kepentingan negara sebagai kebutuhan publik. Dari sinergitas tersebut dapat dihasilkan suatu program maupun kebijakan lembaga agar menciptakan suatu pembebasan dalam pertanggungjawaban pidana yang dipikul (suatu kondisi ketika whistle blower tersangkut kasus dimana ia juga menjadi saksi pengungkap fakta).
Jenis instrumen yang dapat dihasilkan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan lembaga lain misal Kejaksaan, melalui Kejaksaan Agung memunculkan suatu kebijakan guna melindungi status whistle blower. Aplikasinya berupa pembuatan ketentuan peraturan yang berisi penempatan whistle blower sebagai bagian dari penuntut umum atau dari pihak kejaksaan. Sehingga demi kelangsungan tugas dan keberhasilan mengungkap suatu kejahatan serta diperoleh pertanggungjawaban dari diri pelaku maka dalam aturan tersebut dimunculkan kekebalan hukum atau legal imunity dari segala upaya hukum yang ditujukan padanya. Dalam ketentuan tersebut juga dicantumkan batasan perlindungan hukum yang diberikan oleh keduanya, agar tidak timbul suatu chaos[3] ketika terbit seorang whistle blower dengan segala ancaman yang ditujukan.
Jenis koordinasi lain melalui lembaga representasi masyarakat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menempatkan klausula pengaturan seperti di atas atas binding power atau memiliki kekuatan hukum mengikat ketika aturan yang demikian semakin dikembangkan oleh badan representatif masyarakat. Bahwa whistle blower bukanlah seorang saksi maka pengaturannya harus secara khusus dengan diaplikasikan pada kewenangan LPSK. Dengan begitu tercipta suatu aturan yang lebih tinggi karena dihasilkan oleh lembaga yang memiliki suara atas nama rakyat.
Klausul tersebut memberikan dampak yang sangat obyektif bagi whistle blower dengan sistem perlindungan hukum yang bertaraf legal national. Implikasi yuridis yang timbul bahwa lex specialis derogat legi generalle dan lex superior derogat legi inferiori. Pengaturan yang dilakukan koordinasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan masih di bawah pengaturan yang dihasilkan pengaturan oleh legislatif nasional. Pengaturan ini diharapkan mampu memberikan pengamanan bagi seorang whistle blower demi kedudukan dan status hukum.
Selanjutnya penguatan di tubuh Lembaga Saksi dan Korban juga perlu diteguhkan agar tidak terombang-ambing dalam suatu kondisi yang tidak pasti pada suatu saat terjadi kemungkinan yang buruk manipulasi dari berbagai pihak. Badan ini rawan suatu tindakan yang mal administrasi dan tersusup tindakan politik hukum yang merongrong kedudukan whistle blower. Sisi yang perlu ditingkatkan kekuatannya antara lain sumber daya manusia yang lebih profesinal dan capability, kekuasaan mandiri dan instrumen hukum yang jelas dan terakui aplikasinya.
2.        Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk perlindungan selanjutnya berupa penerapan Restorative justice yang termodifikasi. Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku.[4]  Stakeholder disini antara lain saksi, whistle blower dan masyarakat yang mungkin dirugikan.
Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya.[5]
Mekanisme restorative justice termodifikasi digunakan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia karena konsep restorative justice yang ada jika diterapkan maka dapat mengakibatkan efek negatif tanpa mempedulikan karakter bangsa ini. Modifikasi yang dilakukan pada tahap peradilan pidana maupun konsep bentuk perlindungan bagi whistle blower. Tahapan proses peradilan pidana Indonesia sudah waktunya untuk direvisi demi tuntutan tujuan hukum yang memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi keseluruhan  pihak.
Tahap proses peradilan yang akan direvisi dalam bentuk menambahkan ataupun mengganti tahap yang sudah selayaknya untuk dimodifikasi. Pertama akan ditambahkan proses permulaan peradilan sehabis dilakukan penyidikan namun sebelum masuk ke proses penuntutan berupa proses untuk mempertemukan para pihak (stakeholder) baik pelaku,korban maupun kelurga korban, saksi maupun whistle blower sampai masyarakat kolektif yang memiliki kepentingan di dalamnya. Proses ini bisa disebut istilah mediasi dalam proses peradilan perdata ataupun dismissal proses dalam bidang peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam proses permulaan tersebut dapat disepakati bahwa baik pihak keluarga korban,korban,saksi , masyarakat kolektif dan pelaku untuk tidak meneruskan kasus kejahatan sampai pada tahap penuntutan. Yang terpenting disini adalah kepentingan para pihak akhirnya mampu lebih banyak diakomodir dan bisa menciptakan kemanfaatan bagi para pihak.
Proses selanjutnya yang sebaiknya ditambah dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi seorang whistle blower. Kelonggaran yang bisa diberikan dalam sistem peradilan pidana ini bisa berupa tidak diambil sumpah dalam keterangan whistle blower. Untuk menguatkan hal tersebut juga perlu suatu instrumen hukum sebagai payung hukum adanya perlindungan tersebut agar muncul legalitas dalam pengaturan suatu mekanisme beracara di peradilan pidana.
Konsep restorative justice terekstrim adalah dalam hal perundangan yang mengatur. Kemungkinan yang terjadi adalah revisi klausul dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang memang sesuai perkembangan beberapa tahun belakangan sudah terdapat beberapa hal baru yang tidak dapat diakomodir dengan undang-undang tersebut. Kemungkinan kedua dan yang terberat adalah membuat undang-undang baru yang mengatur tentang whistle blower sehingga muncul payung hukum bagi perlindungan hukumnya.


[1] Muhadar,dkk.Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana:19
[2] Teori ini merupakan landasan untuk mencari suatu kesalahan yang terdapat dalam suatu tindak pidana jauh ke belakang sehingga didapatkan titik terang perbuatan pidana tersebut dan individu yang harus mempertanggungjawabkan.
[3] Peter Salim. The Contemporary English – Indonesian Dictionary.ed 8.2002(Jakarta:Modern English Press), hal 314. Lihat juga Satjipto Rahardjo
Chaos ialah keadaan kacau balau.
[4] Dr.Artidjo Alkostar,S.H.,LLM.Restorative Justice.Jurnal Varia Peradilan 2007
[5] Opcit.hal 9
A.    Kesimpulan
1.    Status hukum dari seorang whistle blower tidak berhenti hanya sebatas whistle blower saja, suatu saat kedudukan tersebut dapat berubah menjadi seseorang harus dimintai pertanggungjawaban. Sesuai teori kepentingan negara melawan kepentingan individu, bahwa demi menunjang kepentingan negara dalam mengungkapkan suatu kejahatan whistle blower sebagai individu dapat dilepaskan dari bentuk pertanggungjawaban. Dengan demikian atas kepentingan negara,tujuan hukum berupa kemanfaatan maka perlu dibuat perlindungan hukum bagi whistle blower. Walaupun dari  segi tujuan hukum kepastian hukum, apa-apa yang telah dilakukan whistle blower dan perlu dimintai pertanggungjawaban maka haruslah ditindak secara tegas pertanggungjawaban.
2.      Model perlindungan hukum yang aplikatif dalam melindungi kepentingan whistle blower antara lain yang bersifat represif dan preventif. Perlindungan yang bersifat represif berupa aktivasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sedangkan perlindungan yang bersifat preventif berupa revisi tahapan proses peradilan pidana di Indonesia dan pembentukan undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi whistle blower.
B.     Saran-Saran
1.      Whistle blower sebagai saksi kunci harus mendapat reward atas jasa mengungkapkan fakta kejahatan dan telah berperan sebagai cooperating person dalam proses peradilan pidana. Reward dalam bentuk perlindungan hukum berupa pembebasan pertanggungjawaban ketika seorang whistle blower ternyata dalam pengembangan penyidikan ditemukan bukti bahwa whistle blower bersalah.
2.      Pengaturan tentang perlindungan hukum bagi whistle blower harus diatur secara legal sesuai dengan perkembangan restorasi hukum guna menciptakan keadilan sosial bagi seluruh stakeholder dan sebagai tujuan hukum.




DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Adami,Chazawi.2002.Pelajaran Hukum Pidana 1.Jakarta.Raja Grafindo Persada
Artidjo,Alkostar.2007.”Restorative Justice”.Jurnal Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Friedrich,Carl Joachim(terjemahan Raisul Muttaqien).2010.Filsafat Hukum Perspektif Historis.Bandung.Nusa Media
Leopold,Luhut Hutagalung.2009.Kontroversi Penerapan Pasal 2 UU PTPK (Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU NO.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang no.20 tahun 2001)”.Jurnal Varia Peradilan Majalah Hukum tahun ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Muhadar,Edi Abdullah,Husni Thamrin.2009.Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana.Surabaya.CV. Putra Media Nusantara
Peter Mahmud marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media. Jakarta.
Sudarto.1990.Hukum Pidana 1.Semarang.Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip Semarang
Wirjono,Prodjodikoro.2002.Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia.Bandung.Refika Aditama Bandung
Undang – Undang               :
K U H P
Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang – Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Internet  :
Carl Joachim Friedrich.1969.hal 110.Filsafat Hukum:Perspektif Historis.Diakses pada 2 Mei 2011.Pukul:12.30
David Bear.Establishing A Moral Duty to Obey the Law Through A Jurisprudence of Law and Economics.Diakses pada 5 Mei 2011.Pukul 14.53
http://ssrn.com/abstract=1106544.Diakses pada 5 Mei 2011.Pukul 15.02

0 komentar: