Disusun
Oleh
DWI
RATNA INDRI H E0009117
NARIS
NARISTA K E0009230
RISKA
EGA WARDANI E0010308
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep
kedudukan whistle blower yang
terdapat pada Amerika Serikat sudah maju. Hal tersebut terlihat dari program
kualifikasi yang diadakan pemerintah Amerika Serikat demi mengklasifikasikan
keurgensian kesaksian yang diberikan. Dengan klasifikasi tersebut dapat
ditentukan tindakan selanjutnya berupa bentuk perlindungan yang bisa diberikan
oleh negara. Tak hanya itu disediakan pula
lembaga atau komisi antara lain US
Marshal Service, Bureau of Prison[1] dan badan-badan
investigasi lainnya yang memberikan perhatian dan perlindungan hukum bagi para
saksi dan whistle blower termasuk
keluarganya juga. Perlindungan
hukum bagi whistle blower dipandang
sangat penting melihat kondisi mafia hukum yang tersebar di setiap tahap
penegakan hukum dan bentuk perlindungan bagi whistle blower yang masih abstrak.
Di
Indonesia, dari fakta yang terlihat whistle
blower enggan memberikan kesaksian di muka persidangan. Hal ini karena
lemahnya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara bagi mereka dan
keluarganya. Contoh kasus tentang lemahnya perlindungan hukum bagi whistle blower adalah kasus mafia hukum
dan kasus besar lainnya di Indonesia yang diungkapkan oleh Komisaris Jenderal
Susno Duadji. Namun demikian, Komjen
Susno Duadji tidak mendapat suatu perlindungan hukum khusus sebagai saksi atau whistle blower sehingga banyak
fakta-fakta mafia hukum yang kemudian tidak jadi diungkapkan olehnya.
Setidaknya
ada tiga urgensi yang bisa diungkapkan pentingnya model Perlindungan hukum bagi
whistle blower dalam sistem peradilan
Indonesia.
Pertama, Model perlindungan bagi
whistle blower dalam sistem peradilan di Indonesia diperlukan karena UU yang
ada belum menjamin sepenuhnya perlindungan bagi whistle blower. Kedua, Model perlindungan bagi whistle blower dalam sistem peradilan di
Indonesia sangat penting untuk menjamin keselamatan bagi whistle blower dan keluarganya. Ketiga, Peran whistle
blower sebagai saksi kunci atau saksi pengungkap sangat dibutuhkan, apalagi
dibongkarnya kasus-kasus besar korupsi di Indonesia berkat bantuan dari whistle blower.
Berdasarkan fakta-fakta dan
urgensi perlindungan bagi whistle blower
dalam sistem peradilan di Indonesia, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut permasalahan tersebut yaitu dengan mengadakan penelitian hukum dalam
sebuah karya tulis yang berjudul “Model
Perlindungan Hukum bagi Whistle Blower
dalam Peradilan Pidana Indonesia”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Mengapa whistle blower perlu mendapatkan
perlindungan dalam sistem peradilan
pidana Indonesia?
2. Bagaimana
bentuk perlindungan yang tepat bagi whistle
blower di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Perlunya
Perlindungan Hukum Bagi Whistle blower
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1.Pertanggungjawaban
Pidana Whistle blower sebagai Pelaku
Kejahatan
Whistle blower
memiliki peranan dan arti penting dalam membuka kasus-kasus pidana yang
berangkaian atau berkaitan. Bahwa suatu peristiwa pidana yang terjadi tidak
hanya terjadi satu atau lebih tindak kejahatan dan kesalahan namun dapat
diinvestigasi lebih lanjut bahwa perbuatan tersebut dapat ditarik hingga jauh
ke belakang dalam rangka mengungkap fakta kejahatan yang terjadi juga pelaku
lainnya dengan bantuan whistle blower
dan teori Conditio Sine Quanon[2]. Peranan dalam
membongkar suatu tindak pidana berada pada whistle
blower sebagai cooperating person.
Kedudukan saksi ataupun whistle blower yang dengan kedudukannya tersebut dapat
sewaktu-waktu berganti menjadi pelaku akibat pengembangan dan pemeriksaan lebih
lanjut. Realita itu sejalan dengan asas yang selalu menjadi kekuatan dari suatu
sistem hukum yaitu asas presumption of
innocent. Konsekuensi logis dari asas ini salah satunya adalah tidak
menutup kemungkinan perluasan pertanggungjawaban pidana pada saksi, maupun whistle blower bahkan korban.
2. Kepentingan
Individu whistle blower vs
Kepentingan Negara
Acapkali
seseorang yang disangka bersalah pada akhirnya mendapat hukuman meskipun orang
tersebut telah dengan berani memberikan kesaksiannya yang sangat dibutuhkan
dalam proses pemeriksaan. Dalam kondisi seperti itu suatu tindakan afirmasi
bagi whistle blower perlu diterapkan,
mengingat “jasa”nya kepada negara dengan memberikan kesaksian yang sangat
penting. Tindakan afirmasi berupa pengurangan hukuman yang semestinya diberikan
kepada whistle blower yang terbukti bersalah
dan harus mempertanggungjawabkan kesalahannya bahkan whistle blower dapat dibebaskan
dari segala tuntutan yang ditujukan kepadanya meskipun dia dinyatakan bersalah
dengan turut serta atau terlibat tindak kejahatan. Diskriminasi pemidanaan
tersebut merupakan reward yang selayaknya diberikan oleh negara kepada whistle blower karena kepentingan negara
untuk mengungkap kasus besar dimana whistle
blower telah memberikan kontribusi nyata demi terungkapnya kasus serta
tidak menyakiti rasa keadilan sosial.
3.
Kepastian Hukum
melawan Kemanfaatan
Ironi ketika seorang whistle blower yang dengan kedudukannya mampu memberikan manfaat
besar bagi kepentingan negara dalam mengungkapkan segala proses suatu tindak
kejahatan yang terjadi tetapi demi aturan kepastian hukum yang
diagung-agungkan. Demi suatu kepentingan negara untuk memperlancar proses peradilan
pidana maka prinsip kepastian hukum dengan hukuman bagi seorang whistle blower dapat dikesampingkan
dengan alasan yang logis. Bahwa manfaat dari pengakuan whistle blower untuk membantu proses pengungkapan fakta kejahatan
yang terjadi merupakan dasar argumentasi yang dapat dipegang.
Berdasarkan
penjelasan sub bab di atas maka dapat diketahui bahwa berdasarkan teori
pemidanaan seorang whistle blower yang juga sebagai tersangka dalam artian
melakukan tindak pidana harus dihukum sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan. Hal tersebut untuk menjamin kepastian hukum. Namun demikian, untuk
kepentingan negara yang lebih besar dan
kemanfaatan hukum maka kepastian hukum tersebut dapat dikesampingkan. Dalam
artian bahwa, seorang whistle blower yang juga terlibat tindak pidana bisa
dibebaskan dari hukumannya karena kepentingan negara untuk mengungkap
kejahatan-kejahatan yang lebih besar dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
B.
Model
Perlindungan bagi Whistle blower
Bentuk perlindungan berlapis bagi whistle blower antara lain:
1.
Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk
perlindungan represif meliputi perlindungan hukum yang diberikan terhadap whistle blower dalam segi antisipasi
dari segala tindakan atau resiko yang tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan
esensi buku karya Mudakkar bahwa perlindungan yang diberikan negara antara lain
represif dan preventif. Perlindungan yang diberikan dalam bentuk secara yuridis
maupun fisik.
Sistem
perlindungan antisipasi atau represif dengan memanfaatkan lembaga atau badan
yang telah ada melalui penambahan bahkan
menguatkan fungsi dan kewenangan dari lembaga tersebut. Butuh suatu terobosan
sebagai model perlindungan baik pada saksi dan korban terutama whistle blower. Suatu aktivasi lembaga
ini sudah di nanti-nanti agar mampu memfasilitasi perlindungan bagi whistle blower.
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah dibentuk pasca dikeluarkan
undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum
memberikan suatu jaminan perlindungan secara maksimal. Perlindungan baik dalam
bentuk fisik maupun hukum tidak terlaksana dengan efektif. Perlindungan hukum
tidak akan terlaksana jika tidak ada motor penggerak untuk mewujudkan suatu
jaminan perlindungan hukum, dengan begitu dibutuhkan lembaga atau badan yang mampu
melaksanakan.
Atas
nama suatu badan yang memiliki suatu AD/ART tersendiri dan tidak patut jika
dilakukan suatu intervensi pada lembaga tersebut. Good governance sebagai asas yang merupakan dasar dalam
menjalankan tugas dan kordinasi dari seluruh lembaga bahwa tidak diperbolehkan
suatu lembaga melakukan intervensi pada lembaga lain. Untuk itu sebagai suatu
lembaga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat menggunakan hak dan
wewenangnya untuk menciptakan suatu perlindungan hukum bagi whistle blower.
Di sisi
lain model koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK
dengan instansi lain dalam memberikan perlindungan hukum dapat digunakan
sebagai upaya preventif agar mampu menciptakan instrumen guna mengantisipasi
kemungkinan terburuk dalam kedudukan whistle
blower. Asas-asas umum pemerintahan
yang baik menjadi dasar agar tercipta koordinasi yang harmonis demi kepentingan
negara sebagai kebutuhan publik. Dari sinergitas tersebut dapat dihasilkan
suatu program maupun kebijakan lembaga agar menciptakan suatu pembebasan dalam
pertanggungjawaban pidana yang dipikul (suatu kondisi ketika whistle blower tersangkut kasus dimana
ia juga menjadi saksi pengungkap fakta).
Jenis
instrumen yang dapat dihasilkan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dengan lembaga lain misal Kejaksaan, melalui Kejaksaan Agung memunculkan suatu
kebijakan guna melindungi status whistle
blower. Aplikasinya berupa pembuatan ketentuan peraturan yang berisi
penempatan whistle blower sebagai
bagian dari penuntut umum atau dari pihak kejaksaan. Sehingga demi kelangsungan
tugas dan keberhasilan mengungkap suatu kejahatan serta diperoleh
pertanggungjawaban dari diri pelaku maka dalam aturan tersebut dimunculkan
kekebalan hukum atau legal imunity
dari segala upaya hukum yang ditujukan padanya. Dalam ketentuan tersebut juga
dicantumkan batasan perlindungan hukum yang diberikan oleh keduanya, agar tidak
timbul suatu chaos[3]
ketika terbit seorang whistle blower
dengan segala ancaman yang ditujukan.
Jenis
koordinasi lain melalui lembaga representasi masyarakat dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban yaitu menempatkan klausula pengaturan seperti di
atas atas binding power atau memiliki
kekuatan hukum mengikat ketika aturan yang demikian semakin dikembangkan oleh
badan representatif masyarakat. Bahwa whistle
blower bukanlah seorang saksi maka pengaturannya harus secara khusus dengan
diaplikasikan pada kewenangan LPSK. Dengan begitu tercipta suatu aturan yang
lebih tinggi karena dihasilkan oleh lembaga yang memiliki suara atas nama
rakyat.
Klausul
tersebut memberikan dampak yang sangat obyektif bagi whistle blower dengan sistem perlindungan hukum yang bertaraf legal national. Implikasi yuridis yang
timbul bahwa lex specialis derogat legi
generalle dan lex superior derogat
legi inferiori. Pengaturan yang dilakukan koordinasi Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Kejaksaan masih di bawah pengaturan yang dihasilkan
pengaturan oleh legislatif nasional. Pengaturan ini diharapkan mampu memberikan
pengamanan bagi seorang whistle blower
demi kedudukan dan status hukum.
Selanjutnya
penguatan di tubuh Lembaga Saksi dan Korban juga perlu diteguhkan agar tidak
terombang-ambing dalam suatu kondisi yang tidak pasti pada suatu saat terjadi
kemungkinan yang buruk manipulasi dari berbagai pihak. Badan ini rawan suatu
tindakan yang mal administrasi dan tersusup tindakan politik hukum yang
merongrong kedudukan whistle blower.
Sisi yang perlu ditingkatkan kekuatannya antara lain sumber daya manusia yang
lebih profesinal dan capability,
kekuasaan mandiri dan instrumen hukum yang jelas dan terakui aplikasinya.
2.
Perlindungan yang Bersifat Represif
Bentuk
perlindungan selanjutnya berupa penerapan Restorative
justice yang termodifikasi. Restorative
justice bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan,
pelaku dan masyarakat berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian
perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku.[4] Stakeholder
disini antara lain saksi, whistle
blower dan masyarakat yang mungkin dirugikan.
Proses
peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan
keadilan bukan urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu
harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan
kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya.[5]
Mekanisme
restorative justice termodifikasi
digunakan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia karena konsep restorative justice yang ada jika
diterapkan maka dapat mengakibatkan efek negatif tanpa mempedulikan karakter bangsa
ini. Modifikasi yang dilakukan pada tahap peradilan pidana maupun konsep bentuk
perlindungan bagi whistle blower.
Tahapan proses peradilan pidana Indonesia sudah waktunya untuk direvisi demi
tuntutan tujuan hukum yang memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi
keseluruhan pihak.
Tahap
proses peradilan yang akan direvisi dalam bentuk menambahkan ataupun mengganti
tahap yang sudah selayaknya untuk dimodifikasi. Pertama akan ditambahkan proses
permulaan peradilan sehabis dilakukan penyidikan namun sebelum masuk ke proses
penuntutan berupa proses untuk mempertemukan para pihak (stakeholder) baik pelaku,korban maupun kelurga korban, saksi maupun
whistle blower sampai masyarakat
kolektif yang memiliki kepentingan di dalamnya. Proses ini bisa disebut istilah
mediasi dalam proses peradilan perdata ataupun dismissal proses dalam bidang
peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam
proses permulaan tersebut dapat disepakati bahwa baik pihak keluarga
korban,korban,saksi , masyarakat kolektif dan pelaku untuk tidak meneruskan kasus
kejahatan sampai pada tahap penuntutan. Yang terpenting disini adalah
kepentingan para pihak akhirnya mampu lebih banyak diakomodir dan bisa
menciptakan kemanfaatan bagi para pihak.
Proses
selanjutnya yang sebaiknya ditambah dalam sistem peradilan pidana Indonesia
adalah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi seorang whistle blower. Kelonggaran yang bisa diberikan dalam sistem
peradilan pidana ini bisa berupa tidak diambil sumpah dalam keterangan whistle blower. Untuk menguatkan hal
tersebut juga perlu suatu instrumen hukum sebagai payung hukum adanya
perlindungan tersebut agar muncul legalitas dalam pengaturan suatu mekanisme
beracara di peradilan pidana.
Konsep restorative justice terekstrim adalah
dalam hal perundangan yang mengatur. Kemungkinan yang terjadi adalah revisi
klausul dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang memang sesuai perkembangan
beberapa tahun belakangan sudah terdapat beberapa hal baru yang tidak dapat
diakomodir dengan undang-undang tersebut. Kemungkinan kedua dan yang terberat
adalah membuat undang-undang baru yang mengatur tentang whistle blower sehingga muncul payung hukum bagi perlindungan
hukumnya.
[2] Teori ini merupakan
landasan untuk mencari suatu kesalahan yang terdapat dalam suatu tindak pidana
jauh ke belakang sehingga didapatkan titik terang perbuatan pidana tersebut dan
individu yang harus mempertanggungjawabkan.
[3] Peter Salim. The
Contemporary English – Indonesian Dictionary.ed 8.2002(Jakarta:Modern English
Press), hal 314. Lihat juga Satjipto Rahardjo
Chaos
ialah keadaan kacau balau.
[4] Dr.Artidjo
Alkostar,S.H.,LLM.Restorative Justice.Jurnal Varia Peradilan 2007
[5] Opcit.hal 9
A.
Kesimpulan
1.
Status hukum dari seorang whistle blower tidak berhenti hanya sebatas whistle blower saja, suatu saat kedudukan tersebut dapat berubah
menjadi seseorang harus dimintai pertanggungjawaban. Sesuai teori kepentingan
negara melawan kepentingan individu, bahwa demi menunjang kepentingan negara
dalam mengungkapkan suatu kejahatan whistle
blower sebagai individu dapat dilepaskan dari bentuk pertanggungjawaban.
Dengan demikian atas kepentingan negara,tujuan hukum berupa kemanfaatan maka
perlu dibuat perlindungan hukum bagi whistle
blower. Walaupun dari segi tujuan
hukum kepastian hukum, apa-apa yang telah dilakukan whistle blower dan perlu dimintai pertanggungjawaban maka haruslah
ditindak secara tegas pertanggungjawaban.
2.
Model perlindungan hukum yang aplikatif dalam
melindungi kepentingan whistle blower antara
lain yang bersifat represif dan preventif. Perlindungan yang bersifat represif
berupa aktivasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sedangkan perlindungan
yang bersifat preventif berupa revisi tahapan proses peradilan pidana di Indonesia
dan pembentukan undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan hukum
bagi whistle blower.
B. Saran-Saran
1.
Whistle
blower sebagai saksi kunci harus mendapat reward atas jasa mengungkapkan fakta kejahatan dan telah berperan
sebagai cooperating person dalam
proses peradilan pidana. Reward dalam bentuk perlindungan hukum berupa
pembebasan pertanggungjawaban ketika seorang whistle blower ternyata dalam pengembangan penyidikan ditemukan
bukti bahwa whistle blower bersalah.
2.
Pengaturan tentang perlindungan hukum bagi whistle blower harus diatur secara legal sesuai dengan perkembangan
restorasi hukum guna menciptakan keadilan sosial bagi seluruh stakeholder dan sebagai tujuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adami,Chazawi.2002.Pelajaran Hukum Pidana 1.Jakarta.Raja
Grafindo Persada
Artidjo,Alkostar.2007.”Restorative
Justice”.Jurnal Varia Peradilan Majalah
Hukum tahun ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Friedrich,Carl
Joachim(terjemahan Raisul Muttaqien).2010.Filsafat
Hukum Perspektif Historis.Bandung.Nusa Media
Leopold,Luhut
Hutagalung.2009.”Kontroversi
Penerapan Pasal 2 UU PTPK (Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi UU NO.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang no.20 tahun 2001)”.Jurnal Varia Peradilan Majalah Hukum
tahun ke-XXII no.262.Jakarta.IKAHI
Muhadar,Edi
Abdullah,Husni Thamrin.2009.Perlindungan
Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana.Surabaya.CV. Putra Media
Nusantara
Peter
Mahmud marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media. Jakarta.
Sudarto.1990.Hukum Pidana 1.Semarang.Yayasan Sudarto
Fakultas Hukum Undip Semarang
Wirjono,Prodjodikoro.2002.Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia.Bandung.Refika
Aditama Bandung
Undang –
Undang :
K U H P
Undang –
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang –
Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Internet :
http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-perlindungan-hukum/.Diakses pada 2 Mei
2011. Pukul:13.20
http://www.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2027069-pengertian-sistem-peradilan-pidana/#ixzz1LQropZNa.Diakses pada 2 Mei 2011.Pukul: 13.24
Carl Joachim
Friedrich.1969.hal 110.Filsafat Hukum:Perspektif Historis.Diakses
pada 2 Mei 2011.Pukul:12.30
David
Bear.Establishing A Moral Duty to Obey the Law Through A Jurisprudence of Law
and Economics.Diakses pada 5 Mei 2011.Pukul 14.53
http://ssrn.com/abstract=1106544.Diakses pada 5 Mei 2011.Pukul 15.02
0 komentar:
Posting Komentar