Blog Resmi KSP Principium

Selamat datang di blog resmi KSP Principium.

Kelompok Studi dan Penelitian Principium

Membangun generasi muda yang lebih kritis, analitis, dan solutif guna Indonesia yang lebih baik.

Juara 1 Diponegoro Law Fair 2013

Congrulation atas prestasinya berupa juara 1 lomba karya tulis ilmiah tingkat Nasional yang diselengarakan oleh Universitas Diponegoro dalam acara Diponegoro Law Fair 2013.

Juara 1 Piala MK Constitusional Law Fest Brawijaya 2013

Anggota aktif KSP Principium selain berprestasi dibidang organisasi, juga banyak berprestasi di bidang penulisan Ilimiah. Delegasi FH UNS (Resti dan Mirel) yang meraih juara 1 merupakan anggota aktif KSP Principium.

Pekan Hukum Nasional (PHN) 2013

PHN 2013 yang dilaksanakan pada 11-15 Juni 2013 terdiri dari rangkain acara seperti LKTM MA, Perancangan Kontrak, Workshop, Konferensi, Munas IPMHI, dan Seminar. Info klik pekanhukumnasional.blogspot.com.

Kunjungan Mahkamah Konstitusi

KSP Principium sering mengadakan kunjungan ke instansi atau lembaga yang berkaitan dengan hukum untuk meningkatkan wawasan, ilmu pengetahuan dan kerja sama.

Comparative Study of Research

Setiap tahun KSP Principium mengadakan Study Comparative of Research universitas-universitas di seluruh Indonesia untuk meningkat ilmu pengetahuan, wawasan, kinerja organisasi, dan kerjasama.

Seminar Nasional "Aksesibilitas Hukum"

Untuk membahas isu-isu hukum tertentu, KSP Principium sering mengadakan forum diskusi seperti seminar tingkat lokal, nasional, hingga internasional.

Kepengurusan KSP Principium Periode Tahun 2013-2014

KSP Principium terdiri dari 6 Divisi anatara lain Divisi Kesekretariatan, Divisi Kebendaharaan, Divisi Penelitian, Divisi Diskusi, Divisi PPA, dan Divisi Humas.

Panitia Pekan Hukum Nasional 2013

Jargon penyemangat kami ~ "We are the agent of change for better Indonesia, patriotic, humanis, and nasionalis. Pekan Hukum Nasional, kami untuk Indonesia."

Display UKM KSP Principium

Setiap tahun KSP Principium mengadakan mengadakan perkenalan UKM KSP Principium kepada mahasiswa baru.

Legal Drafting PLF 2013

Anggota KSP Principium aktif mengikuti kompetisi-kompetisi mahasiswa dan produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah.

Kamis, 29 Desember 2011

TELAAH KEDUDUKAN DAN PENGATURAN HUKUM DEBT COLLECTOR DALAM PERSPEKTIF SINKRONISASI HUKUM DI INDONESIA (KAJIAN PENGATURAN PRINSIP PERBANKAN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ASPEK PERIKATAN PERDATA)


Disusun oleh :
Galuh Wahyu Kumalasari
Diyah Ayu Hardiyani
A.      Latar Belakang Masalah
Menelaah kematian Irzen Octa yang diduga dianiaya debt collector Citibank terkait pelunasan kartu kredit, tentu harus menjadi perhatian bersama. Kasus yang menunjukkan benturan kepentingan entitas bisnis dengan aspek pidana demikian, semakin kentara ketika debt collector ditengarai menjadi penyebab kematian sang nasabah. Di satu sisi, kehadiran debt collector menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian berlandas hukum perdata antara bank dan nasabah tidak berjalan efektif dan efisien. Sementara di sisi yang lain menunjukkan kerancuan pengaturan yang patut dikaji dan ditelaah berkait masuknya debt collector dalam ranah perikatan perdata bank dan nasabah.
Ditilik dari produk perbankan yang potensial menghadirkan campur tangan debt collector, kartu kredit menjadi salah satu rujukannya. Pihak perbankan saat ini berlomba-lomba untuk menawarkan kartu kredit, karena produk perbankan ini jauh lebih menguntungkan dibanding produk lain.
Gencarnya penggunaan kartu kredit ternyata berpeluang pula menimbulkan permasalahan baru, berwujud kredit macet. Agar penyelesaian masalah kredit macet demikian tidak terjerembab pada pusaran masalah yang lain, sejatinya telah ada ketentuan dalam PBI 11/11/2009 dan surat edaran BI 11/10/DASP Tahun 2009. Kedua peraturan tersebut menjelaskan bahwa penggunaan jasa pihak lain dalam proses penagihan utang harus digunakan untuk kredit dengan kolektibilitas macet (Harian Suara Merdeka, 29 April 2011).
Masalah kredit macet sebenarnya dapat diselesaikan secara hukum perdata, akan tetapi efektifitas dan efisiensi mekanistik penyelesaian litigatif demikian masih menyisakan masalah bagi bank yang mempunyai volume kredit macet besar. Guna mengatasi problem efektifitas inilah, debt collector dilibatkan dalam penagihan kredit macet.
Pada kasus yang lebih ringan, setidaknya kehadiran debt collector, menimbulkan keresahan bagi nasabah. Dalam hal ini nasabah merasa tidak ada perjanjian dengan debt collector melainkan dengan pihak bank, sehingga nasabah tidak berkenan membayar sejumlah uang tagihan. Berdasarkan uraian demikian, banyak pertanyaan yang harus dijawab, dimana sesungguhnya perlindungan nasabah atas kehadiran debt collector? Bagaimana pula kedudukan debt collector dalam perikatan nasabah dan perbankan? Atau bagaimanakah tanggungjawab bank atas keterlibatan debt collector? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menarik minat peneliti untuk ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini guna mengeliminir ekses yang timbul.
B.     Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dogmatik, yang menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini juga bersifat terapan, yaitu menggunakan ilmu hukum dalam menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tentu saja sifat penelitian ini diarahkan sepenuhnya guna menelaah bagaimanakah kedudukan dan pengaturan hukum debt collector dalam perspektif sinkronisasi hukum di Indonesia? Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian yang peneliti lakukan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan, bahkan hingga aspek ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio legis dari ketentuan undang-undang. Jika dasar ontologis dan landasan filosofis berkaitan dengan suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti (Peter Mahmud Marzuki, 2005:96).
C.    Pembahasan
1.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia






Mencermati skematik di atas dapat diketahui bahwa debt collector setidaknya mempunyai 3 (tiga) payung hukum berdasarkan perspektif hukum di Indonesia dalam menjalankan profesinya. Adapun uraian lebih lanjut mengenai payung hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Berdasarkan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam hubungan kerjasama antara pihak bank dengan nasabah, debt collector bertindak sebagai pihak ketiga. Debt collector merupakan pihak ketiga yang direkrut bank untuk menjalankan pekerjaan penagihan kewajiban nasabah kepada bank. Perikatan debt collector dengan bank bukan hanya berdasarkan peraturan perjanjian dalam hukum perdata, namun juga terdapat berbagai kewajiban. Kewajiban tersebut diantaranya, pihak ketiga harus: melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada Bank yang merekrut, yang selanjutnya oleh pihak bank akan dilaporkan kepada pihak Bank Indonesia; memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan; menjaga kerahasiaan data.
2.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 17 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Mencermati bunyi Pasal 17 ayat (5) dapat diketahui bahwa debt collector berfungsi sebagai pihak ketiga. Ditegaskan pula bahwa mengenai kartu kredit, debt collector dilibatkan oleh pihak bank guna melakukan tugas penagihan terhadap nasabah.
3.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Hubungan kerjasama antara pihak bank dengan debt collector dilakukan berdasarkan perjanjian tertentu dengan kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam kaitan ketika kemudian bank meminta bantuan debt collector, sepenuhnya nasabah harus mengetahui, karena pada akhirnya akan berkaitan dengan kepentingan nasabah.
2.      Telaah Kritis Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Terhadap Prinsip Kehati-hatian Perbankan, Perlidungan Konsumen, dan Apek Perjanjian Perdata Menurut Hukum di Indonesia
Mencermati skematik kedudukan dan pengaturan hukum debt collector ditinjau dari tiga perspektif diatas, akan dikaji lebih lanjut mengenai sinkronisasi Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip Perbankan, Perlindungan Konsumen dan Aspek Perikatan Perdata.
1.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip Perbankan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)
Mencermati bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia yang menyatakan bahwa penerbit atau dalam kaitan ini adalah pihak bank dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melaksanakan kegiatannya. Pernyataan tersebut dapat dilihat Pada Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia sebagai payung hukum dalam melaksanakan kemitraan bank dengan pihak ketiga. Kemitraan dengan pihak ketiga dilakukan pula oleh bank dalam melakukan penagihan terhadap nasabahnya yang masih memiliki  kewajiban terhadap pihak bank namun belum tertunaikan. Pihak ketiga yang kemudian direkrut pihak bank untuk tugas ini adalah jasa debt collector.
Debt collector melakukan penagihan terhadap nasabah dengan kuasa yang diberikan oleh pihak bank. Bahkan dalam Pasal 17 ayat (5) dinyatakan mengenai jaminan bahwa pihak ketiga dapat pula melakukan penagihan terhadap kartu kredit terhadap nasabah yang mengalami kredit macet. Penggunaan pihak ketiga oleh bank dalam upaya penagihan kredit macet terhadap nasabah tidak sinkron dengan prinsip perbankan. Prinsip perbankan meliputi prinsip kerahasiaan, kehati-hatian, kepercayaan dan know your customer (prinsip mengenal nasabah).
Pertama, prinsip kerahasiaan perbankan, menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Bahwa pihak bank seharusnya tidak membocorkan sedikitpun identitas dari nasabah sebagai wujud penerapan prinsip kerahasiaan perbankan dalam melindungi nasabahnya. Pemberian informasi mengenai nasabah terhadap pihak ketiga harus diketahui dan atas persetujuan nasabah. Pada kenyataannya secara sepihak bank menggunakan jasa pihak ketiga debt collector untuk melakukan penagihan terhadap nasabah tanpa diketahui oleh pihak nasabah sebelumnya. Bank memberikan identitas serta nominal kredit macet nasabah kepada pihak ketiga. Hal yang demikian merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kepercayaan perbankan.
Kedua, Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Fakta bahwa bank kurang optimal dalam menerapkan prinsip ini dapat dilihat dari perekrutan pihak ketiga sebagai penagih kredit macet dari nasabah.
Ketiga, prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 1998. Ironis ketika mencermati paparan mengenai prinsip kepercayaan semacam ini, disatu sisi nasabah memberikan kepercayaan kepada bank berkaitan dengan keuangan, di sisi lain pihak bank melakukan kemitraan dengan pihak ketiga tanpa diketahui oleh nasabah. Bahkan seringkali nasabah mengalami tindakan yang tidak menyenangkan dari pihak ketiga debt collector saat penagihan berlangsung. Sekali lagi bank telah menyimpangi prinsip yang seharusnya diterapkan.
Keempat, prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
Mencermati paparan tersebut maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sinkron dengan prinsip perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Bahkan dapat dilihat pula bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang mengatur bahwa bank dapat menggandeng pihak ketiga, hal ini tidak sesuai dengan prinsip mengenal nasabah yang diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2010. Bank tidak perlu menggunakan jasa pihak ketiga debt collector seandainya prinsip tersebut benar-benar diterapkan.
2.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999)
Melihat paparan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tersebut dapat dilihat sebuah ketidaksinkronan kedua peraturan tersebut. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dinyatakan bahwa bank dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam menyelenggarakan urusannya, dalam kaitan penagihan kredit macet terhadap nasabah oleh debt collector. Selanjutnya dilihat dari prinsip perlindungan konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pengalihan tanggung jawab. Tanggung jawab tugas penagihan kewajiban nasabah terhadap bank seharusnya merupakan tanggungjawab bank sebagai pelaku usaha. Namun pada kenyataannya pihak bank memberikan kuasa kepada debt collector untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai pengalihan tanggungjawab, terlebih tanpa sepengetahuan nasabah sebagai pihak kedua.
Selanjutnya mengenai paparan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 bahwa pihak ketiga dapat melakukan penagihan terhadap kartu kredit. Masuknya pihak ketiga debt collector sebagai pihak yang melakukan penagihan terhadap nasabah tidak pernah diperjanjikan antara bank dengan nasabah karena perikatan hanya terjadi diantara nasabah dan bank. Seringkali bank sebagai pihak yang kuat secara finansial memanfaatkan kesempatan dengan menentukan klausula baku dalam perjanjian dengan nasabah. Pihak ketiga penagih kredit macet dapat ikut masuk padahal belum diperjanjikan sebelumnya dengan nasabah. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Dengan demikian maka Peraturan Bank Inonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang mengalihkan tanggung jawab penagihan hutang terhadap debt collector telah melanggar UU Perlindungan Konsumen. Penggunaan pihak ketiga merupakan perbuatan sepihak yang dibuat oleh bank, padahal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak diperbolehkan menerapkan pembuatan klausula baku oleh salah satu pihak. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kedua peraturan tersebut tidak sinkron.
3.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11 11/PBI/2009 dengan Aspek Perikatan Perdata
Setelah mencermati dan menelaah paparan Pasal-Pasal tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ada sesuatu yang kurang sesuai diantara kedua sisi tersebut. Mengenai kemitraan bank dengan pihak ketiga debt collector bila ditelaah dari sudut pandang Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Kemudian berkaitan dengan Pasal 1338 mengenai Pacta Sunt Servada bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat, maka bank maupun nasabah harus melaksanakan isi perjanjian sebagai undang-undang. Perjanjian tersebut dibuat antara dua pihak dan klausula didalamnya harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika klausula ternyata dibuat hanya oleh satu pihak, maka perjanjian dapat dibatalkan. Jika pihak bank menyimpangi dengan bermitra dengan pihak ketiga tanpa diketahui nasabah, maka pihak bank telah melanggar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dan dapat dikenai sanksi.
Selain berbagai pelanggaran tersebut, seringkali pihak debt collector melakukan kekerasan dalam melakukan penagihan terhadap nasabah. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada debt collector karena bank tidak bersedia untuk mempertanggungjawabkan. Seharusnya pihak bank turut bertanggungjawab, karena bank yang memberikan kuasa terhadap debt collector tanpa sepengetahuan nasabah. Ketentuan bahwa pertanggungjawaban ada pada pihak bank juga ada pada Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dinyatakan bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sesuai dengan prisip Perikatan Perdata pada Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Dengan melihat berbagai gambaran tersebur diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksinkronan antara Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip-prinsip Perbankan, Prinsip Perlindungan Konsumen mengenai klausula baku serta tidak sesuai dengan prinsip perikatan perdata. Maka harus diadakan perubahan terhadap peraturan bank Indonesia tersebut agar dapat lebih sinkron dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
D.    Kesimpulan
1. Kedudukan dan pengaturan hukum Debt Collector sejatinya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor  11/11/2009 sebagai pihak ketiga diantara pihak bank dan nasabah. Adapun berkait aspek perjanjian antara Bank dan Debt Collector, berlaku ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
2. Kedudukan Debt Collector yang notabene diatur dalam PBI, ketika ditinjau dari perspektif Prinsip Perbankan, Perlindungan Konsumen, dan Aspek Perikatan Perdata menunjukkan ketidaksinkronan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Budi Untung. 2005. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi
Hans Kelsen. 1995. General Theory of law and State. Diterjemahkan oleh Somardi, Rimdi Press. hlm.1
 Harian Suara Merdeka, 29 april 2011
Hasanuddin Aco, “Debt collector Tanggung Jawab Bank”, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/07355660/BI.Debt.Collector.Tanggung.Jawab.Bank terakhir diakses 4 April 2011, 10.28
Johannes Ibrahim. 2004. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif. Bandung: CV.Utomo
John Hart Ely. 1980. Democracy and Distrust:A Theory of Judicial Review. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
Kasmir. 2004. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lon Fuller, The Morally of Law, Yale University Press dalam Khudzaifah Dimyati, 2004:63
Mason A. “Trends in Constitutional Interpretation”. University of New South Wales law Journal. Volume 237. 1995. Hlm.18
Mulhadi S.H.,M.Hum. 2005. Prinsip Kehati-hatian Dalam Lerangka UU Perbankan di Indonesia. Medan: Unversitas Sumatera Utara
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum Bandung. Bandung: Alumni
Subekti. 1992. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: P.Intermasa
WikipediaBahasaIndonesia, “Perlindungan Konsumen”,  http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen terakhir diakses 29 April 2011, 10.43
Produk Perundangan
Undang-Undang  Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Peraturan Bank Indonesia Nomor 03/10/PBI/2010
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/2009

Senin, 26 Desember 2011

Jurnal Retrieval KSP "Principium" FH UNS vol-3 Nopember 2011 (Kumpulan Karya Tulis Ilmiah Hukum)

Jurnal Retrieval Volume 3, Nopember 2011 
Penanggung Jawab : Ketua KSP “Principium” FH UNS  :Trisna Delniasari 
Ketua Divisi Humas KSP “Principium” FH UNS  :Dyah Nur Aryani 
REDAKSI: 
Pemimpin Redaksi : Suryaningsih 
Sekretaris Redaksi : Mira│Intan│Rifzky 
Bendahara : Otik│Mia│Kinan 
Penyunting dan Editor : Naris│Galuh│Latifah│Lia│Miqdad icha│Nares│Fikriya│Istining│Diyah 
Bagian Percetakan:  Citra│Indra│Tutut│Atika│Maya│Ocha 
Bagian Sponsorship dan Pemasaran : Anug│Prita│Bayu│Ida│Wulan│Mella 
Bagian Layout dan Design : Indri│Prima│Cicis│Vina│Ardani│Ifa│Riska


Jurnal Retrieval KSP "Principium" FH UNS merupakan buku yang berisi kumpulan karya tulis ilmiah hukum dari anggota KSP "Principium" FH UNS, buku yang berbentuk Jurnal ini udah volume ke tiga. dua volume sebelumnya sudah terbit pada kepengurusan KSP "Principium" FH UNS sebelumnya...



Kamis, 10 November 2011

LKTM internal KSP "Principium" FH UNS

KSP "Principium" pinter nulis lo, ini buktinya...

dimuat pada Joglosemar | JUMAT, 24 DESEMBER 2010 OPINI Jelang Laga Final AFF 2010 Pertarungan Buruh vs Majikan? Oleh Nurul Bisyarati

Penikmat sepakbola Mahasiswi Fakultas Hukum UNS, Solo Sebuah pertandingan yang bukan hanya mencari kemenangan, tapi gengsi antara dua negara tetangga serumpun juga akan dipertaruhkan. Buruh versus majikan. Kalimat tersebut mungkin sedikit menjadi gambaran emosional akan apa yang terjadi di Stadioan Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, pada Minggu, 26 Desember nanti. Sebuah pertandingan yang bukan hanya mencari kemenangan, tapi gengsi antara dua negara tetangga serumpun juga akan dipertaruhkan. Jika kalah, bukan hanya malu yang akan didapat, bisa jadi harga diri bangsa seakan didapat, bisa jadi harga diri bangsa seakan dilucuti musuh bebuyutan. Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara tetangga yang akan bertarung di dua laga kandang dan tandang final Piala AFF 2010 nanti. 
Tapi, pada dasarnya bukan hanya pertarungan diatas lapangan saja yang menjadikan tensi kedua negara panas, Melainkan ‘’ pertarungan-pertarungan’’ yang telah ada semenjak zaman presiden pertama Republik Indonesia. Kita pastinya ingat dengan slogan ‘’Ganyang Malaysia’’ yang diucapkan oleh Soekarno saat itu. Perselisihan yang memanas dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Kemudian sentiment anti-Malaysia dalam hal ini mengenai pembentukan Federasi Malaysia di Indonesia kembali muncul di awal abad ke-21, terutama sebagai akibat banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang umumnya bekerja sebagai buruh rendahan di Malaysia. Namun di sisi lain saat ini ada jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun tenaga kerja wanita (TKW) yang mengadu nasib di negeri tersebut. Layaknya (maaf) nuruh dan majikan, hubungan panas antara Indonesia dan Malaysia menjadi buah simalamaka. Di satu sisi lain memberikan dampak keresahan bagi para TKW. Selain itu, beberapa perselisihan perbatasan yang kemudian kemenangan Malaysia atas pengakuan pulau Sipadan hubungan kedua negara. Tak hanya itu, bangsa Malaysia kerap kali mengklaim beberapa kebudayaan asli Indonesia sebagai kebudayaan negeri mantan jajahan Ratu Elizabeth ini. Lidah mereka pun ucapkali nakal denga menyebut orang-orang Indonesia dengan sebutan indon (merendahkan). Dan dibalas oleh orang-orang Indonesia melalui dunia maya dengan menyebut mereka Malingsia. Buruh versus majikan. Bagi bangsa Indonesia mungkin terdenganr menyakitkan, namun apa boleh buat. Hal itulah yang telah disematkan oleh Malaysia semenjak banyaknya tenaga kerja berupah murah Indonesia yang bekerja di sana. Sejak adanya kebijakan pemerintahan mantan Presiden Soeharto berniat membantu peningkatan populasi warga Melayu, maka terjadi gelombang besar-besaran pengiriman orang Indonesia ke Malaysia yang dimulai sekitar tahun 1980an. Jumlah itu semkin bertambah pada tahun 2007 yang menjadi 90 persen dari seluruh pekerja asing di negara tersebut. Hal itu berarti ada banyak 1,5 juta orang asal Indonesia saat itu. Maka timbul pandangan di kalangan generasi baru Malaysia yang merendahkan orang Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah berbagai pemberitaan pers Malaysia dan pembiaran pemerintah Malaysia yang secara terbuka menyebutkan orang Indonesia sebagai ‘’indon’’ sebagai pelaku berbagai tindakan kriminal. Lalu bagaimana pertandingan nanti? Bola itu bulat, kata pengamat sepakbola yang sering kali berkomentar di televise. Itu artinya, siapapun nisa menang asalkan wasit belum meniup peluit panjang. Bahkan asisten pelatih Indonesia, Wolfgang Pikal memperkirakan pertandingan akan berjalan a lot dan kemungkinan kemenangan fifty-fifty. Teror Malaysia Saat ini skuad Garuda tengah dalam kepercayaan diri yang amat tinggi dari total lima kali pertandingan yang dilakoni dalam laga penyisiahan hingga semifinal, sang penjaga gawang Markus Harison hanya kemasukan dua gol. Dan di sisi lain penyerang Indonesia berhasil menyarangkan 15 gol rata-rata tiga gol per pertandingan. Dan pelatih manapun akan melihat itu sebagai tim yang ofensif. Kalau boleh memperkirakan apa yang terjadi di pertandingan final leg pertama nanti, pastinya teror-teror supporter Malaysia akan menggema di stadion kebanggan mereka Bukit Jalil. Stadion yang berkapasitas 100.000 orang itu akan disesaki penggemar Timnas Malaysia, karena supporter Indonesia hanya akan diberikan jatah 15.000 tempat duduk. Dengan sedikitnya jatah tiket, bisa jadi menjadi bagian strategi Malaysia untuk mengintimidasi pemain Indoneisa pertandingan. Bahkan, ajakan dari pengurus sepakbola Malaysia sudah terang-terangan mengajak warganya untul segera membeli tiket dan jangan sampai kedahuluan orang Indonesia yang berada di Malaysia. Dan mungkin mereka juga khawatir, karena ada penduduk ‘’gadungan’’ yang ada di Malaysia. Yakni banyaknya TKI yang berada di Negeri Jiran tersebut. Satu pertanyaan yang saya pikirkan dan mungkin Anda juga memikirkannya, apa yang dilakukan oleh orang Mlaysia yang memiliki pembantu asal Indonesia. Apakah mereka akan melarang pembantunya untuk melihat pertandingan secara langsung atau tidak? Karena senakin bnayka supporter yang datang ke stadion, maka mereka akan menjdaikan pemain ke dua belas yang akan memenangkan pertandingan. Saat ini, semangat tim Garuda sedang diatas angin. Karena mampu membenamkan Malaysia di pertandingan penyisihan dengan skor telak 5-1. Tapi jangan lupa, karena pertandingan besok merupakan pertandingan pertama di luar Stadion Gelora Bung Karno. Maka, muncul pertanyaan apa yang akan terjadi dengan bangsa Indonesia jika kalah dari Malaysia? Satu pertanyaan yang mungkin kurang terpikirkan mengingat pertandingan Indonesia yang sangat memuskan. Jika itu terjadi, Malaysia akan semakin bertahta di atas Indonesia. Mengingat beberapa perselisihan sebelumnya juga di menangi mereka. Tak berhenti di situ saja, karena omongan-omongan supporter dua negara akan kembali panas, terlebih lagi di dunia maya. Kekalahan juga akan meyebabkan kebiasaan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) muncul, yakni mencari kambing hitam. Tengok kanan kiri siapa yang patut disalahkan. Tapi selalu saja pengurus tidak pernah salah. Bahkan (maaf), dituntut mundur ribuan orang yang memenuhi stadion pun tetap bergeming dan kukuh sebagai keua PSSI. Tapi pastinya saya sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetap mendoakan tim nasional sepakbola Indonesia menang dan menggondol Piala AFF untuk kali pertama. Hal ini akan menjadi tonggak kebangkitan persepakbolaaan nasioanl, dan di ranah politik antar bangsa sebagai balasan atas beberapa kali ‘’peperangan’’ dengan Malaysia. (***)

Jumat, 28 Oktober 2011

KAJIAN KOMPARASI HUKUM TERHADAP HIPNOSIS FORENSIK SEBAGAI METODE INVESTIGASI PROGRESIF DALAM PERSPEKTIF SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DAN SISTEM HUKUM ISLAM (Sebuah Kajian Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia)

oleh :
RATNA WIDIANING PUTRI E 0008217 
SETIA MARLYNA M E 0007208 

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Pengadilan merupakan tempat menegakkan keadilan. citra tersebut dinodai dengan keadaan kusut pemeriksaan persidangan. Diperlukan lompatan di bidang hukum untuk menguraikannya. Seperti lompatan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penyadapan. Lompatan serupa juga diperlukan guna menghindari praktek korupsi di Indonesia, salah satunya dengan metode hipnosis dalam proses penyidikan. Pemanfaatan hipnosis dalam menggali keterangan saksi/korban adalah sebuah upaya paksa yang menghindarkan ‘kekerasan’, yang acapkali muncul dalam praktik interogasi.[1]
Hipnosis forensik telah dilegalkan di sebagian Amerika Serikat, dan patut diaplikasikan di Indonesia. Muncul pro dan kontra berkait pemanfaatan hipnosis dalam ranah hukum. Pada kubu Sistem Hukum Anglo Saxon, didasarkan kemutakhiran ilmu pengetahuan dalam pembuktian. Sementara pandangan Sistem Hukum Islam hipnosis cenderung menyalahi syariat Islam.
Pengkajian dimaksud diharapkan memberikan pertimbangan analitis guna pembaharuan di dalam hukum, khususnya Hukum Acara Pidana. Beragam permasalahan inilah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian: Kajian Komparasi Hukum Terhadap Hipnosis Forensik Sebagai Metode Investigasi Progresif dalam Perspektif Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam (Sebuah Kajian Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia).
2.      Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perspektif Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam mengkonsepsikan pemanfaatan hipnosis forensik sebagai sebuah metode investigasi progresif?
2.    Bagaimana konsepsi Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam memberikan kontribusi terhadap pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia atas pemanfaatan hipnosis forensik sebagai sebuah metode investigasi progresif?
B.     Telaah Pustaka
Kerangka Teoritik
1.      Hipnosis Forensik
Hipnosis diberlakukan di Amerika dalam bidang hukum (hipnosis forensik) dengan memanggil ingatan yang terkikis. Hasil rekonstruksi itu disebut hypnotically refreshed memory (ingatan yang disegarkan dengan hipnosis) dan bila dilaporkan harus disertai rekaman audio visual.[2]
1.      Anglo Saxon Sebagai Sebuah Sistem Hukum
Sistem Anglo-Saxon (common law system) merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
2.      Hukum Islam Sebagai Sebuah Sistem Hukum
a.    Sumbernya dari Allah SWT.
b.    Sanksi Hukum Syari`at Bersifat Duniawi dan Ukhrawi
c.    Berlaku Umum
d.   Universal
Adapun mengenai tujuan hukum Islam mengandung beberapa prinsip penting yang dapat dipedomani, antara lain;
1)      Hubungan antar sesama manusia didasarkan atas prinsip ‘keadilan’;
2)      Menjalin "persaudaraan", saling percaya, dan saling pengertian di satu sisi, serta menghindari bibit-bibit permusuhan dan pertikaian.
3)      Memelihara 3 Pokok Kepentingan manusia : Primer (Pokok), Sekunder (Penting) dan Tertier (Pelengkap).
4)      Konsentrasi dalam menjalankan tugas manusia - ‘Ibadah,
1.      Penyidikan Progresif.
Pengertian Aparat Penyidik
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. (Pasal 1 butir 1 KUHAP).
2.      Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia
KUHAP yang disusun berdasarkan era teknologi tahun 70-an, tentu tidak pernah memikirkan eksistensi persidangan melalui media teleconference, electronic evidence sebagai alat bukti, kesahihan sidik genetic melalui uji DNA, upaya paksa penyadapan (intersepsi) telephone, maupun pendekatan ilmiah guna pengungkapan kejahatan melalui Scientific crime investigation, maupun wacana pemanfaatan hipnosis forensik sebagai ilmu bantu dalam hukum acara pidana.[1]
  1. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penyusunan kajian penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records. Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara  pengumpulan data sekunder. Teknik Analisis Data yang digunakan yaitu analisis isi (content analysis)

B.     PEMBAHASAN
Perspektif Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam Mengkonsepsikan Pemanfaatan Hipnosis Forensik Sebagai Sebuah Metode Investigasi Progresif
Guna melaksanakan Hukum Pidana, diperlukan cara-cara yang harus ditempuh agar ketertiban hukum dalam masyarakat dapat ditegakkan. Cara-cara itu disebut sebagai Hukum Acara Pidana yang bertujuan mencari dan mendapatkan kebenaran hukum material.
Sejalan dengan pemikiran Prof. Satjipto Raharjo, sebagai mahluk yang dibekali pikiran dan perasaannya sebagai manusia, tentu akan berpikir humanis dan mencari solusi progresif agar kebenaran material dapat ditegakkan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara “kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak ingatan saksi, korban maupun tersangka.
Latar Belakang Penerapan Hipnosis Forensik di Sistem Hukum Anglo Saxon
Mengkiblat pada Sistem Hukum Anglo Saxon. Penrod & Culter[1] setiap tahun di Amerika terjadi hampir 4500 kesalahan kesaksian. Ketidaksesuaian ini dapat bersumber pada:[2]1. Keterbatasan kognisi saksi dalam mengolah, merekam dan mengingat informasi; 2. Bias yang terjadi dalam persepsi penyidik di dalam menilai kebenaran kesaksian; 3.Cara penggalian kesaksian oleh penyidik. Menanggapi masalah ini, diperlukan metode untuk menyegarkan memori saksi yakni dengan hipnosis forensik.
Hipnosis Forensik dari Sudut Pandang Sistem Hukum Islam
  1. Hipnosis Klasik
Hipnosis klasik ialah kemampuan untuk mempengaruhi pikiran orang lain atau bahkan diri sendiri dengan berbagai metode yang sarat dengan upacara klenik yang cenderung syirik kepada Allah SWT.
  1. Hipnosis Modern
Hipnosis modern adalah pengembangan fungsi otak para ahli psikologi dengan mengembangkan teori otak kanan (alam bawah sadar) untuk terapi pasien dan bukan sihir, karena dikembangkan secara logis dengan penelitian.
Hipnosis Forensik Sebagai Sebuah Metode Investigasi Progresif
Apabila hipnosis forensik diterapkan di Indonesia sebagai sebuah metode investigasi progresif, diperlukan sinergisitas antara pengaturan tentang perlindungan saksi/korban dan pengaturan tentang standar internasional penerapan hipnosis forensik yang benar.
Pada tahap penyidikan saksi dihipnosis untuk menyegarkan memorinya, tahap ini peran perlindungan saksi diperlukan untuk menjamin keselamatan saksi yang dihipnosis oleh seorang ahli hipnosis forensik. Menukil dari Orne, Dinges, dan Orne[3] dalam Sistem Hukum Anglo Saxon telah memberikan pedoman penggunaan hipnosis forensik dan hanya untuk investigasi, dan dengan perlindungan yang memadai. Pengamanan ini meliputi:
  1. Hipnotis harus seorang psikolog, psikiater, yang berkualitas profesional dengan pengalaman di kedua hipnosis klinis dan forensik.
  2. Sebuah rekaman video yang lengkap harus terbuat dari wawancara.
  3. Hanya hipnotis dan subjek harus disajikan selama wawancara.
  4. Evaluasi psikologis, memperoleh subjek tertulis dan diinformasikan untuk hipnosis, dan menentukan apa subjek hipnosis ingat sebelum digunakan.
  5. Hipnotis harus menghindari terkemuka dan teknik direktif.
  6. Hindari diskusi pasca-hypnosis tentang materi selama hipnosis.
C.      Konsepsi Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam Memberikan Kontribusi Terhadap Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia atas Pemanfaatan Hipnosis Forensik Sebagai Sebuah Metode Investigasi Progesif
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam perlu mendapat pencerahan terkait eksistensi Hipnosis Forensik. Sistem Hukum Anglo Saxon menyatakan kebenaran dari pemberian keterangan ketika seseorang berada dalam keadaan bawah sadar, maka sebelumnya ia akan melewati RAS (Reticulate Activated System) atau gerbang antara pikiran sadar dengan pikiran bawah sadar, segala bentuk sugesti akan disaring, karena RAS juga menyaring dengan menggunakan rasio tentang benar tidaknya sugesti yang diberikan, dengan menggunakan rasa yaitu tentang enak atau tidaknya sugesti tersebut, hipnosis ini dapat dipertanggung jawabkan sacara ilmiah.[4]
Keterpaduan Antara Sistem Hukum Anglo Saxon Dengan Sistem Hukum Islam dalam Penerapan Hipnosis Forensik Sebagai Sebuah Metode Investigasi Progesif Terhadap Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia.
Hukum acara Pidana dalam KUHAP perlu pembaharuan guna keadilan substantive. Penerapan Hipnosis Forensik (metode investigasi progresif) dalam perspektif pembaharuan Hukum Acara Pidana perlu dimasukkan dalam penyidikan sebagai tahapan dalam Operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana.
Mekanisme dalam penerapan hipnosis forensik sebagai metode investigasi progresif ini adalah dengan menyatukan para pihak dalam laboratorium forensik yang melibatkan:
1.      Penyidik yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
2.      Ahli kejiwaan atau terapis yang khusus hipnosis
3.      Ahli di bidang Informasi dan Teknologi
Mekanisme Pemanfaatan Hipnosis Forensik
Penerapan hipnosisme dalam penegakan hukum, khususnya dalam mengumpulkan informasi saksi/korban. Hipnosis forensik bekerja dengan memanggil ingatan yang terkikis dalam perjalanan waktu.Hasil rekonstruksi ingatan itu disebut hypnotically refreshed memory (ingatan yang disegarkan dengan hipnosis) dan apabila dilaporkan harus disertai rekaman audio visual.
Mekanisme pemanfaatan hipnosis forensik dengan memanfaatkan gelombang otak. Gelombang otak diukur dengan alat Electro Encephalograph (EEG) yang dapat di gambarkan sebagai berikut:


 

























Gelombang Alpha (α) hingga Theta (θ) merupakan gelombang hipnosis, pada otak yang dapat dialiri sugesti hingga dihipnosis, karena gelombang itu merupakan gelombang dimana manusia hanya terfokus pada satu perhatian, sehingga sugesti mudah masuk, melalui sugesti yang diberikan seseorang dapat melakukan apa yang disuruh dan mengatakan apa yang diketahui secara jujur, asal ada kemauan dari pihak yang dihipnosis untuk menerima sugesti. Cara masuk sugesti ke alam bawah sadar adalah dengan cara memfokuskan pada satu perhatian, sehingga dari gelombang alpha akan melewati RAS (Reticulate activated system), gerbang antara pikiran sadar dengan bawah sadar pada gelombang (θ), tempat kesuksesan metode hipnotis.
RAS (Reticulate activated system) tersebut dapat diibaratkan sebagai Critical Factor. Critical Factor adalah bagian dari pikiran yang selalu menganalisis informasi masuk dan menentukan tindakan rasional. Critical Factor melindungi pikiran bawah sadar dari ide, informasi, sugesti atau bentuk pikiran lain yang bisa mengubah program pikiran yang tertanam di bawah sadar. Ketika dalam kondisi sadar, Critical Factor menghalangi sugesti yang ditanamkan ke pikiran bawah sadar. Sugesti yang diucapkan dalam kondisi sadar terhalang oleh Critical Factor. Saat hipnotist melakukan hipnosis, yang terjadi adalah hipnotist mem-by-pass Critical Factor subjek dan berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar subjek. By-pass di sini dilakukan dengan suatu teknik yang dinamakan “induksi”. Induksi bisa dilakukan dengan membuat pikiran sadar subjek sibuk, lengah, bosan, bingung atau lelah sehingga pintu gerbang pikiran bawah sadar, yaitu Critical Factor terbuka. Karena Critical Factor terbuka maka sugesti akan menjangkau pikiran bawah sadar. Critical Factor menjadi tidak aktif ketika seseorang dalam kondisi trance hipnosis. Maka dari itu, semua sugesti selama tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan akan diterima oleh pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, disimpan sebagai program pikiran. Program pikiran yang sudah ditanamkan melalui sugesti dalam kondisi hipnotis, menjadi pemicu perubahan yang seketika dan permanen.
Hipnosis dapat digunakan dengan saksi/korban sebuah tindak kejahatan pidana hanya dengan persetujuan mereka. Berkaitan dengan penegakan hukum yang progresif dan pembaharuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, kesaksian hipnosis adalah dibolehkan jika kriteria ketat dipenuhi.
E.     PENUTUP
Kesimpulan
1.      Berkait kehalalan hipnosis sebagai sebuah cabang ilmu dari psikologi, terurai bahwa hipnosis forensik yang digunakan dalam menyegarkan memori saksi/korban adalah diperbolehkan karena terbukti keilmiahannya
2.      Pemikiran kekinian tentang hipnosis forensik diperkaya dengan pendekatan perbandingan hukum dari dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem Hukum Islam. Sebagai upaya menidak-lanjuti pemikiran tersebut, penerapan Hipnosis Forensik sebagai metode investigasi progresif dalam perspektif pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia dimasukkan dalam bagian batang tubuh penyidikan sebagai tahapan pertama dalam Operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana.
Saran
1.      Majelis Ulama Indonesia segera memberikan fatwa terkait penggunaan ilmu hipnosis pada umumnya dan hipnosis forensik pada khususnya sebagai sebuah cabang ilmu psikologi yang ilmiah guna menguatkan dasar penerapan hipnosis forensik dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.
2.      Pemerintah, selaku legislator membuat rancangan undang-undang yang mengatur tentang penerapan hipnosis forensik sebagai sebuah metode investigasi progresif dalam Hukum Acara Pidana Indonesia sebagai wujud tanggung jawab pemerintah dalam menegakkan keadilan substantif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Andi Hamzah. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
Bambang Sunggono. 1992. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
Bawengan. 1989. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Edisi Revisi. Jakarta:Pradnya Paramita.
Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Singapore: Thomson Wadsworth.
Klaus Krippendorff. 2004. “Content Analysis” An Introduction to Its Methodology. Pennsylvania : Sage Publications.
Komisi Khusus Bidang Riset Ilmiah dan Fatwa. Fatwa Lajnah Da’imah. Saudi Arabia
Lexy J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja Roskarya.
Muhammad Rustamaji, Dewi Gunawati. 2011. Moot Court, Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif. Surakarta: Mefi Caraka.
Orne, MT, Dinges, DF, & Orne, EC. 1984. National Institute of Justice, December.
Soerjono Soekanto. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
MEDIA MASA
The International Institute for the Advanced Studies. Applied Mental Health Generated. http://www.psychotherapy.com/. diakses pada tanggal 31 Mei 2011 07:05:49 GMT.
Yuninasirhttp://yuninasir.blogspot.com/2010/12/hipnotisme-forensik.html05:57:45 GMT.

[1] Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Singapore: Thomson Wadsworth. hlm.
[2] Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. hlm.
[3] Orne, MT, Dinges, DF, & Orne, EC. 1984. National Institute of Justice, December.
[4] Ibid.

[1] Ibid. hlm. 80.

[1] Muhammad Rustamaji, Dewi Gunawati. 2011. Moot Court, Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif. Surakarta: Mefi Caraka. hlm. 5.
[2] Yuninasirhttp://yuninasir.blogspot.com/2010/12/hipnotisme-forensik.html05:57:45 GMT.