Blog Resmi KSP Principium

Selamat datang di blog resmi KSP Principium.

Kelompok Studi dan Penelitian Principium

Membangun generasi muda yang lebih kritis, analitis, dan solutif guna Indonesia yang lebih baik.

Juara 1 Diponegoro Law Fair 2013

Congrulation atas prestasinya berupa juara 1 lomba karya tulis ilmiah tingkat Nasional yang diselengarakan oleh Universitas Diponegoro dalam acara Diponegoro Law Fair 2013.

Juara 1 Piala MK Constitusional Law Fest Brawijaya 2013

Anggota aktif KSP Principium selain berprestasi dibidang organisasi, juga banyak berprestasi di bidang penulisan Ilimiah. Delegasi FH UNS (Resti dan Mirel) yang meraih juara 1 merupakan anggota aktif KSP Principium.

Pekan Hukum Nasional (PHN) 2013

PHN 2013 yang dilaksanakan pada 11-15 Juni 2013 terdiri dari rangkain acara seperti LKTM MA, Perancangan Kontrak, Workshop, Konferensi, Munas IPMHI, dan Seminar. Info klik pekanhukumnasional.blogspot.com.

Kunjungan Mahkamah Konstitusi

KSP Principium sering mengadakan kunjungan ke instansi atau lembaga yang berkaitan dengan hukum untuk meningkatkan wawasan, ilmu pengetahuan dan kerja sama.

Comparative Study of Research

Setiap tahun KSP Principium mengadakan Study Comparative of Research universitas-universitas di seluruh Indonesia untuk meningkat ilmu pengetahuan, wawasan, kinerja organisasi, dan kerjasama.

Seminar Nasional "Aksesibilitas Hukum"

Untuk membahas isu-isu hukum tertentu, KSP Principium sering mengadakan forum diskusi seperti seminar tingkat lokal, nasional, hingga internasional.

Kepengurusan KSP Principium Periode Tahun 2013-2014

KSP Principium terdiri dari 6 Divisi anatara lain Divisi Kesekretariatan, Divisi Kebendaharaan, Divisi Penelitian, Divisi Diskusi, Divisi PPA, dan Divisi Humas.

Panitia Pekan Hukum Nasional 2013

Jargon penyemangat kami ~ "We are the agent of change for better Indonesia, patriotic, humanis, and nasionalis. Pekan Hukum Nasional, kami untuk Indonesia."

Display UKM KSP Principium

Setiap tahun KSP Principium mengadakan mengadakan perkenalan UKM KSP Principium kepada mahasiswa baru.

Legal Drafting PLF 2013

Anggota KSP Principium aktif mengikuti kompetisi-kompetisi mahasiswa dan produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah.

Minggu, 01 Desember 2013

MOSI Lomba Debat Internal Fakuktas Hukum Universitas Sebelas Maret Piala Dewi Justicia





Mosi Lomba Debat Internal:
1.   Pelaksanan referendum bagi rakyat Papua dalam penerapan penggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights to self determination
2.       Penguasaan pulau-pulau di Lombok oleh warga negara asing
3.       Hak atas kepemilikan terhadap laut cina selatan
4.       Penyelesaian batas laut Indonesia-Malaysia di perairan selat malaka melalui median line
5.       Pengakuan kedaulatan pada GSO
6.       Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengimporan barang holticultural
7.       Ratifikasi statuta Internasional Criminal Court


SELAMAT BERTANDING DEBATER !!


Yuridis3: KESIAPAN MENUJU PEMILU 2014

Berikut ini adalah Yuridis 3 yang merupakan diskusi untuk internal (principiumers) yang mengangkat tema mengenai Kesiapan Menuju Pemilu 2014 berikut mengenai diskusi yang dilaksanakan Kamis-Jumat 28-29 Nov 2013, Happy Reading ^^


Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Di dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Tidak terlepas dari konsep Negara hukum yang juga diamanatkan di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

Terdapat tiga pelaku di dalam sebuah pemilihan umum, yang pertama adalah Pemerintah sebagai sarana untuk memberikan sebuah wadah dalam menampung aspirasi rakyat yang mana aspirasi tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam pembentukan kebijkan kebijakan yang tentunya akan dilaksanakan di dalam pemerintahan yang mana untuk mencapai tujuan bersama negara sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Yang kedua adalah Partai Politik yang mana merupakan sebuah organ masyarakat sebagai penampung calon wakil wakil rakyat yang akan menyuarakan dan menyalurkan aspirasi rakyat di dalam pelaksanaan pemerintahan. Keberadaan Parpol di dalam sebuah negara demokrasi di sini sangat penting, karena mereka lah simbol simbol suara rakyat yang duduk di pemerintahan sehingga dalam kaderisasi anggota parpol harus dengan pertimbangan pertimbangan yang tajam. Yang ketiga dan terakhir adalah Pemilih atau Rakyat, keberadaan rakyat di dalam sebuah pemilihan umum merupakan subyek paling penting di dalam sebuah pelaksanaan demokrasi. Sebuah peraturan di buat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat agar dapat mencapai sebuah keadaan yang kondusif dan adil. Di sini, peran masyarakat sebagai subyek adalah di saat mereka menggunakan hak pilihnya secara sadar untuk menentukan siapa saja yang akan menjadi penyambung aspirasi mereka di dalam pelaksanaan pemerintahan. Selain sebagai subyek, rakyat juga dikatakan sebagai obyek yang mana melalui hak pilih yang mereka gunakanlah maka sebuah kebijakan terbentuk dan ditujukan untuk rakyat di dalam aktivitas kenegaraanya. Kualitas Pemerintah, Partai Politik dan Rakyat merupakan tolak ukur sebagai kualitas sebuah kebijakan dibuat oleh pemerintah dalam suatu negara. Kesiapan mereka di dalam pelaksanaan demokrasi harus sangat diperhatikan dengan seksama dan cermat.

Kesiapan Pemerintah, Pemerintah sebagai sarana untuk memberikan sebuah wadah dalam menampung aspirasi rakyat yang mana aspirasi tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam pembentukan kebijkan kebijakan yang tentunya akan dilaksanakan di dalam pemerintahan yang mana untuk mencapai tujuan bersama negara sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah satunya adalah pendataan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sangat berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan Pemilu 2014. Sebab, selain ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, masalah tersebut juga dapat memicu terjadinya gejolak sosial untuk menolak hasil Pemilu oleh partai politik dan para pegiat demokrasi yang semenjak awal berkomitmen menjadikan Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang paling bersih di antara pemilu-pemilu sebelumnya. DPT merupakan indikator utama untuk menentukan kualitas dari proses Pemilu. kinerja Kemendagri terbukti gagal dalam mempersiapkan keakuratan data pemilih sebagai rujukan bagi KPU. 

Daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2014, Senin malam tanggal 4 Nopember 2013 walau mendapat kritikan dan penolakan dari sebahagian Partai Peserta Pemilu , akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) dengan mempertimbangkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masukan-masukan dari partai-partai politik.

Ketua KPU, Husni Kamil Manik menetapkan DPT Pemilu 2014 di Gedung KPU, Jakarta, Senin 4 November 2013. Husni Kamil Manik siap menjalankan segala konsekuensi dari penetapan tersebut. Termasuk, memperbaiki data-data yang bermasalah. Husni-pun mengapresiasi kinerja KPU dan seluruh jajaran dari tingkat paling bawah Panitia Pemungutan Suara (PPS), KPU Kabupaten/Kota dan Provinsi serta menghargai pendapat Partai Politik.

Perlu diketahui juga terdapat 10,4 juta data yang belum dilengkapi, KPU yakin bahwa 10,4 juta ini secara faktual orangnya ada, KPU siap untuk terus melakukan Perubahan-perubahan, penyempurnaan-penyempurnaan atas data yang belum sempurna.

Dari data yang berhasil kami himpun dari berbagai media baik media online, media Elektronic DPT Pemilu 2014 yang sudah ditetapkan adalah :
1. DPT dari 33 Provinsi,
2. DPT dari 497 Kabupaten/Kota,
3. DPT dari 6.980 Kecamatan,
4. DPT dari 81.034 Desa dan Kelurahan,
5. TPS, 545.778,
6. Jumlah Pemilih laki-laki, 93.439.610, Pemilih perempuan, 93.172.645, total pemilih: 186.612.255 Orang.
7. Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN)130 TPS, 873 dengan jumlah Pemilih 2.010.280 orang,

Kesiapan Parpol, sudah menjadi hal yang biasa ketika menjelang sebuah pemilihan umum dapat dilihat di sudut sudut bahkan di tempat umum terpampang tampang tampang calon wakil rakyat. Wajah wajah tersebut terpampang dalam baliho caleg, branding kendaraan, kartu nama, hingga kalender yang disebar gratis. Lantas, apakah dengan semua itu parpol bisa disebut siap ikut Pemilu 2014 secara utuh? Tentu itu tidak cukup untuk menyebut parpol benar-benar siap sebagai peserta pemilu tahun 2014 mendatang. Pertama, kompetensi caleg parpol kabur di mata publikSementara posisi sebagai legislator mutlak harus mengurus rakyat.
Sampai saat ini publik tidak pernah tahu apa pertimbangan parpol mengusung caleg-calegnya. Apa dasar parpol untuk memasukkan seseorang dalam daftar calon? Apakah karena ia kader partai? Atau orang lain yang dekat dengan elite partai? Apakah ia tokoh masyarakat, tokoh yang dikenal karena jejak rekamnya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat? Atau karena ia tokoh an sich, tanpa mempedulikan jejak rekam atau kinerjanya, dan murni hanya persoalan dikenal dan tidak dikenal? Di mana peran kader dan publik dalam menentukan kriteria tersebut?

Kesiapan Rakyat, fungsi pemilu sebagai media dalam proses penyampaian aspirasi rakyat pasti selalu dihadapi oleh berbagai Negara baik yang maju ataupun Negara yang masih berkembang. Masyarakat sebagai anggota dari penerima kebijakan pemerintah tidak luput menjadi sorotan terkait tercapai atau tidaknyaesenssi pesta demokrasi dalam penyampaian aspirasi rakyat. Berdasarkan peraturan konstitusional yang tertuang dalam bab XVIIB pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pemilu, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012, mengisyaratkan bahwa masyarakat Indonesia diberi wewenang untuk menyemarakkan pesta rakyat dalam konteksnya adalah Pemilu. Dalam usaha untuk menyukseskan pemilu, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Gerakan Nasional Sosialisasi Pemilu mulai dari tahun 2009 agar rakyat lebih sadar hukum dan mampu menggunakan hak pilihnya dengan baik. Namun di dalam pelaksanaannya kebijakan dan program pembangunan tidak serta merta dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan, ternyata kebijakan yang telah diambil belum mampu mengakomodasi agar rakyat lebih sadar akan pentingnya pemilihan umum bagi berlangsungnya kehidupan pemerintahan. Hal tersebut dirujuk kepada, terhitung angka golput di Indonesia yang mengalami peningkatan selama dua periode sebelum Pemilihan Umum tahun ini.Pada tahun 2004, Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Yang menggunakan haknya 124.449.038 (83 persen), yang tidak menggunakan hak suara atau golput setara dengan 17 %.Namun, pasca pencanangan Program Nasional Sosialisasi Pemilu oleh pemerintah, angka golput justru mengalami peningkatan, pada Pemilihan Umum 2009, KPU mencatat sebanyak 171.265.442 orang sebagai pemilih tetap, namun masyarakat yang menggunakan hak suaranya dalam pemilihan hanya 121.588.366 atau sekitar 71 % saja dari total Daftar Pemilih Tetap, sedang untuk yang tidak melakukan pemilihan KPU mencatat kurang lebih 49.677.076 jiwa atau sekitar 29 %. Dari data penelitian imparsial menyebutkan faktor faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya adalah faktor teknis, administratif,kalkulasi rasional dan political engangement. Dari ke empat faktor tersebut yang menjadi poin penting sebagai penyebab tingginya angka Golput adalah political engangement, yaitu di mana kesadaran rakyat untuk menggunakan hak pilih mereka masih kecil dan bersifat apatis

Kesimpulan:
Kesimpulan dari dikusi di atas, kesiapan sebuah pemilihan umum sebagai wujud pelaksanaan demokrasi harus sejalan dan beriringan dari pihak Pemerintah, Partai Politik dan Masyarakat. Ketika rakyat dengan kesadaran yang tinggi untuk menggunakan hak pilihnya maka rakyat akan lebih selektif dalam menentukan pilihan kepada calon calon perwakilan rakyat yang mau tidak mau juga harus mengutamakan segi kualitas nya tidak hanya figur saja agar dipilih oleh rakyat yang mana ketika calon calon tersebut sudah compatible dan mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam pemerintah maka kebijakan yang dibuat pemerintah pun juga sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Rakyat.

Jumat, 29 November 2013

PENGUMUMAN LOLOS LOMBA DEBAT HUKUM INTERNAL


Berikut ini adalah tim yang lolos Lomba Debat Hukum Internal Piala Dewi Justicia FH UNS 2013
1.      Tim dari Satrio Pradana Devanto
2.      Tim dari I Made Abiyoga
3.      Tim dari Fredolin
4.      Tim dari Baginada L.M Sibua
5.      Tim dari Andi Bacrul
6.      Tim dari Alan Adityanta

Selamat bagi para peserta yang lolos :)

Awalnya Iseng tapi Jadi Iseng-Iseng Berhadiah


“Awalnya sih iseng tapi malah jadi pemenang” begitulah ungkap Fitri Melany yang merupakan salah satu finalis dari tim yang mendapat juara 2 ajang kepenulisan yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dalam lomba karya tulis ekspektasi 2013. Lomba ini mengangkat tema mengenai “Refleksi Dan Upaya Penegakan Hukum Progresive Di Indonesia  Guna Mewujudkan Masyarakat Berkeadilan”. Untuk itulah mengapa tim yang terdiri dari Fitri Melany, Galuh Purborini Wijaya dan Adhela Kurniartha Sekar Arum mengkaji mengenai putusan tentang Rasyid Rajasa.
Persiapan dari satu tim ini bisa dikatakan minim waktu, menurut mereka lomba ini mendadak baru mereka ketahui H-7 sebelum deadline pengumpulan berkas karna adanya kesalahan teknis yang menyebabkan undangan yang sebelumnya sudah dikirim tidak sampai. Apalagi saat itu ketiga principiumers ini sedang menempuh UKD (Uji Kompetensi Dasar) yang sangat penting untuk kuliahnya. Tapi memang benar dimana ada niat yang kuat disitu akan ada kesungguhan usaha. Mereka benar-benar sangat mempersiapkan UKD dengan dengan lomba.
Mereka tetap semangat belajar dan mempersiapkan lomba. Waktu di pagi hari mereka gunakan untuk belajar, siang hari setelah UKD untuk istirahat dan malam hari untuk memberkas begitu seterusnya hingga sampai pada saat presentasi mereka harus meninggalkan UKD. Syukurlah dalam mengerjakan lomba tidak mengalami kesulitan karna saat itu untuk mencari materi tidak susah banyak literatur yang bisa menjadi referensi apalagi berita mengenai kasus yang mereka kaji sedang hangat-hangatnya, faktual dan aktual pasti untuk media massa bahkan dosen pun membahas hal tersebut. Untuk perbedaan pendapat diantara ketiganya pastilah ada, mereka ada yang pro dan kontra yaaah seperti masyarakat pada umumnya, untuk menyamakan presepsi mereka bertiga melihat masalah itu seperti apa dan bagaimana suara terbanyak dari pendapat mereka, itulah yang mereka gunakan.
Kepesimisan mereka terbayar sudah dengan usaha sebaik mungkin dan menjadi motivasi. “Kalau kita bisa nulis, ketika kita ada niat kepengen membuat sesuatu tulisan jangan ketakutan terlebih dahulu semua materi kalau dicari di literatur lain pasti ada asalkan ada kemauan dan niat. Nulis hanya tinggal kemauan dan niat kalau kita mau ayoo kita berusaha menyusun sebuah tulisan yang memang itu usaha kita sendiri...” tambah Fitri Melany untuk memberikan motivasi untuk teman-teman yang lain. Kemenangan tersebut menjadi langkah awal untuk mereka ke depannya untuk bisa mengikuti lomba-lomba menulis lain dengan partner yang lain pula karna setiap orang itu memiliki keasyikan dalam berpikir yang berbeda-beda karna dengan perbedaan mampu memunculkan ide baru yang menambah ilmu, wawasan, sharing pengalaman. CONGRATULATIOOOOON!!!! J
SAY CHEESE !!! :))

LDR 1 : Telaah kedudukan SKK Migas

Berikut ini mengenai Law Discussion Room 1 yang mengangkat tema tentang kedudukan SKK Migas, diskusi ini dipimpin oleh dosen FH UNS yang diikuti oleh keluarga KSP"Principium" dan mahasiswa fakultus hukum UNS diskusi ini bertujuan untuk membangun iklim diskusi yang sehat dan bermanfaat :)



Konsep pengeloaan migas di Indonesia
Dikarenakan pengelolaan migas memerlukan waktu yang cukup panjang serta biaya dan modal yang cukup besar manyebabkan negara penghasil minyak dan gas bumi menggandeng investor untuk tender proyek tersebut. Konsep pengelolaan migas berasarkan PSC dimulai sejak era PSC genarasi I samapai genarasi III pada tahun 1964- 2002 (sebelum berlakunya UU No 21 Tahun 2002) yang mana pada generasi tersebut pertamina sebagai regulator mewakili pemerintah mengelola migas.

Munculnya UU No 21 tahun 2002 ditengarai sebagai bibit munculnya
sejarah lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, substansi UU ini merupakan bagian dari paket Letter of Intent (LoI), yang dipaksakan oleh IMF dan kartel ekonomi politik internasional seperti; World Bank, untuk me-liberalisasi dan men-deregulasi sektor-sektor strategis di Indonesia. Kita tahu, bahwa LoI tersebut merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh Indonesia, sebagai syarat untuk menerima “bantuan” dalam penanganan krisis moneter satu dekade lalu. Secara substantif, dalam kerangka liberalisasi tadi, UU ini bertujuan untuk memecah (unblunded) sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang tadinya terintegrasi. Di sektor hulu, dari dulu pihak asing memang sudah lenggang kangkung di Indonesia, dan menguasai 80% cadangan minyak dan gas bumi Indonesia. Di sektor hulu, UU ini telah melucuti kewenangan Pertamina sebagai satu-satunya pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina dibuat sebagai pemain “biasa”, disamakan dengan kontraktor migas mana pun di Indonesia. Pertamina juga harus memecahkan dirinya ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir yang terpisah.

Berdasarkan kronologis diatas jelas kepentingan dan dominasi asing begitu kental dalam aroma undang-undang migas. Bila kita kaji secara yuridis terdapat beberapa ketentuan yang ada dalam UU No 21 Tahun 2002 sudah terkontaminasi dengan liberalsiasi di bidang migas. Hal itu dapat dilihat dalam:
  • Ketantuan pasal 1 (ketentuan umum) dijelaskan mengenai pengertian Badan usaha dan badan usaha tetap. Dua pengertian tersebut mengacu pada konsep perusahaan asing dan perusahaan nasional (lokal).
  • Pasal 4 ayat 2 dan 3 menjelaskan terkait dengan penguasaan minyak dan gas bumi oleh Negara yang diwujudkan dengan pemebntukan BPMigas (SKK Migas).
  • Dalam pasal 10 dijelaskan mengenai kewenangan badan usaha dan badan usaha tetap yang mana sudah ditegaskan bahwa badan usaha tetap (perusahaan asing) hanya diperbolehkan melakukan kegiatan hulu. Dan sebaliknya
  • Pasal 44 terkait dengan pembentukan Badan pelaksana (BP Migas) = SKK Migas.
Dengan kondisi diatas maka secara sistematis dan pasti kewenangan negara dalam hal pengelolaan migas dikurangi dan bahkan dikendalikan melalui mekanisme UU 21 tahun 2002. Kewenangan Negara sebelum berlakunya UU No 21 tahun 2002 dikendalikan oleh pertamina selaku perushaan plat merah milik negara dan sepenuhnya negara menjadi penegndali dalam kegiatan hulu dan hilir.

Sebagai solusi dalam pengelolaan kegiatan di bidnag migas seyogyanya dikembalikan pada kekuasaan negara selaku pengendali dalam kegiatan migas sesuai dengan amanat dalam pasal 33 UU 45. Dengan menunjuk kementrian yang terkait sebagai regulatornya atau dikembalikan pada pertamina selaku kepanjangan tangan pemerintah untuk pengelolaanya, namun dengan catatan ada good will dan lawinforcement yang bagus dari pemerintah. Sudah saatnya bangsa ini mampu berdiri diatas kaki sendiri dengan kemampuna dan teknologi yang dimiliki sendiri tanpa tergantung pada bangsa lain, SEMOGA…….??

yuridis2 : Ratu Atut “Menyingkap Tabir Dinasti Ratu Atut”

Yuridis 2 membahas mengenai dinasti ratu atut yang menjadi bahan perbincangan ketika sebuah kekuasaan itu diberikan keistimewaan apakah hal tersebut akan tetap layak menjadi kekuasaan yang sewajarnya dijalankan berdasarkan keadilan tanpa kesewenang-wenangan.




Ratu Atut “Menyingkap Tabir Dinasti Ratu Atut”
Di Indonesia, dinasti politik sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Hal tersebut terbukti dari anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang politisi, seperti Megawati Soekarno Putri , Guruh Soekarno Putra, dll. Dinasti politik juga terlihat pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman Wahid, dengan tampilnya saudara-sudara dan anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kemudian, dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono, kecenderungan dinasti politik juga mengemuka dengan kiprah anaknya Eddie Baskoro atau Ibas yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009-2014.

Fenomena dinasti politik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Fenomena ini terjadi pula di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di India dan Pakistan misalnya, terdapat dinasti politik Gandhi dan Bhutto. Di Thailand dan Filipina terdapat dinasti politik Sinawatra dan Aquino. Di Lebanon-Timur Tengah, terdapat dinasti politik Gemayel dan Hariri. Di Amerika Serikat terdapat dinasti politik Bush, Clinton, dan tentu saja yang paling terkenal adalah dinasti politik Kennedy.

Lalu, mengapa dinasti politik dipermasalahkan di Indonesia? Apa yang salah dengan dinasti politik di Indonesia? Bukankah mengikuti kontestasi politik untuk menjadi pimpinan jabatan publik, seperti kepala daerah, merupakan hak politik tiap warga negara? 

Itulah kira-kira beberapa gambaran pertanyaan yang diajukan oleh para penentang pembatasan dinasti politik di Indonesia. Untuk menyikapi isu dinasti politik secara bijak, alangkah lebih baik kalau diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan dinasti politik. 

Dinasti Politik?
Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Itulah pengertian netral dari dinasti politik. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang dinasti politik. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan dinasti politik bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti dinasti politik juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Dinasti politik yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka dinasti politik dapat berarti negatif. Dinasti politik tidak bermasalah bila kondisinya berkebalikan dengan yang tersebut di atas, seperti dinasti politik Bush dan Kenndey di Amerika Serikat. 

Istilah lain yang sepadan dengan pengertian dinasti politik adalah tren politik kekerabatan. Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Amich Alhumami, peneliti sosial di University of Sussex, Inggris, menyebut politik kekerabatan itu tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. Menurutnya, jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern.

Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan --karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges-- harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.

Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi.

Para kerabat --lantaran pertalian darah-- dianggap lebih dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.

Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban atau karbitan. Bukan political credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati nan otentik.

Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine, kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan pengalaman pendidikan yang panjang.

Di Indonesia, terdapat pula tokoh politik nasional yang tumbuh, selain karena mewarisi darah aristokrasi politik keluarga, juga memiliki political credentials yang mereka bangun sendiri. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bisa disebut mewakili tokoh politik yang membangun political credentials melalui kombinasi dua jalan tadi. Sedangkan Megawati menempuhnya melalui jalan yang pertama.

Urgensi Pembatasan Dinasti Politik
Secara pribadi, penulis setuju dengan gagasan pemerintah untuk membatasi dinasti politik di daerah. Saya senada dengan apa yang telah dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: “Tidak patut jika kepala daerah yang telah habis masa jabatannya digantikan oleh anak atau isterinya” (Kompas, 24 Agustus 2010). Akan tetapi, lebih jauh penulis mendorong agar terdapat pula regulasi yang membatasi dinasti politik di tingkat nasional. Regulasi tersebut bisa dituangkan dalam UU Pilpres yang akan datang.

Dinasti politik perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama, dinasti politik, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarkhi yang bernuansa negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.

Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula). 

Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila keluargapun turut berbisnis ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana pemerintah seolah milik uang keluarga. 

Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan.

Kelima, pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pemilukada. 

Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu untuk mengatur bukan mematikan hak politik seseorang sama sekali. Oleh karenanya, penulis tidak setuju dengan anggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) seperti yang dilontarkan oleh Sekjend Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Muchtar Sindang.

Usul pengaturan pembatasan dinasti politik di daerah dari kemendagri, dengan misalnya ada jeda satu masa jabatan sebelum keluarga dekat seorang kepala daerah mencalonkan diri. Atau dilarang mencalonkan diri di wilayah provinsi yang sama, patut diapresiasi. Penulis setuju dengan ide itu. (dikutip dari Kompas 24 Agustus 2010)

Kesimpulan dari diskusi mengenai dinasti ratu atut ini adalah ketika adanya keluarga yang mempunyai jabatan penting dalam pemerintahan kemudian turun temurun menularkan pada anggota keluarga yang lain ini bukanlah suatu masalah asalkan dalam kekuasaannya tidak dengan sewenang-wenang dan bukan menjadi ajang untuk mengeksploitasi kekayaan negara atau korupsi. Semestinya jabatan yang bisa mengangkat nama keluarga itu diharapkan mampu menjunjung citra baiknya dalam mengolah pemerintahan dengan perubahan ke arah yang lebih baik lalu dengan adanya sistem pemilu dinasti tersebut berjaya karna dianggap mampu memberikan kontribusi yang baik pada negara.