Jumat, 29 November 2013

LDR 1 : Telaah kedudukan SKK Migas

Berikut ini mengenai Law Discussion Room 1 yang mengangkat tema tentang kedudukan SKK Migas, diskusi ini dipimpin oleh dosen FH UNS yang diikuti oleh keluarga KSP"Principium" dan mahasiswa fakultus hukum UNS diskusi ini bertujuan untuk membangun iklim diskusi yang sehat dan bermanfaat :)



Konsep pengeloaan migas di Indonesia
Dikarenakan pengelolaan migas memerlukan waktu yang cukup panjang serta biaya dan modal yang cukup besar manyebabkan negara penghasil minyak dan gas bumi menggandeng investor untuk tender proyek tersebut. Konsep pengelolaan migas berasarkan PSC dimulai sejak era PSC genarasi I samapai genarasi III pada tahun 1964- 2002 (sebelum berlakunya UU No 21 Tahun 2002) yang mana pada generasi tersebut pertamina sebagai regulator mewakili pemerintah mengelola migas.

Munculnya UU No 21 tahun 2002 ditengarai sebagai bibit munculnya
sejarah lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, substansi UU ini merupakan bagian dari paket Letter of Intent (LoI), yang dipaksakan oleh IMF dan kartel ekonomi politik internasional seperti; World Bank, untuk me-liberalisasi dan men-deregulasi sektor-sektor strategis di Indonesia. Kita tahu, bahwa LoI tersebut merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh Indonesia, sebagai syarat untuk menerima “bantuan” dalam penanganan krisis moneter satu dekade lalu. Secara substantif, dalam kerangka liberalisasi tadi, UU ini bertujuan untuk memecah (unblunded) sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang tadinya terintegrasi. Di sektor hulu, dari dulu pihak asing memang sudah lenggang kangkung di Indonesia, dan menguasai 80% cadangan minyak dan gas bumi Indonesia. Di sektor hulu, UU ini telah melucuti kewenangan Pertamina sebagai satu-satunya pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina dibuat sebagai pemain “biasa”, disamakan dengan kontraktor migas mana pun di Indonesia. Pertamina juga harus memecahkan dirinya ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir yang terpisah.

Berdasarkan kronologis diatas jelas kepentingan dan dominasi asing begitu kental dalam aroma undang-undang migas. Bila kita kaji secara yuridis terdapat beberapa ketentuan yang ada dalam UU No 21 Tahun 2002 sudah terkontaminasi dengan liberalsiasi di bidang migas. Hal itu dapat dilihat dalam:
  • Ketantuan pasal 1 (ketentuan umum) dijelaskan mengenai pengertian Badan usaha dan badan usaha tetap. Dua pengertian tersebut mengacu pada konsep perusahaan asing dan perusahaan nasional (lokal).
  • Pasal 4 ayat 2 dan 3 menjelaskan terkait dengan penguasaan minyak dan gas bumi oleh Negara yang diwujudkan dengan pemebntukan BPMigas (SKK Migas).
  • Dalam pasal 10 dijelaskan mengenai kewenangan badan usaha dan badan usaha tetap yang mana sudah ditegaskan bahwa badan usaha tetap (perusahaan asing) hanya diperbolehkan melakukan kegiatan hulu. Dan sebaliknya
  • Pasal 44 terkait dengan pembentukan Badan pelaksana (BP Migas) = SKK Migas.
Dengan kondisi diatas maka secara sistematis dan pasti kewenangan negara dalam hal pengelolaan migas dikurangi dan bahkan dikendalikan melalui mekanisme UU 21 tahun 2002. Kewenangan Negara sebelum berlakunya UU No 21 tahun 2002 dikendalikan oleh pertamina selaku perushaan plat merah milik negara dan sepenuhnya negara menjadi penegndali dalam kegiatan hulu dan hilir.

Sebagai solusi dalam pengelolaan kegiatan di bidnag migas seyogyanya dikembalikan pada kekuasaan negara selaku pengendali dalam kegiatan migas sesuai dengan amanat dalam pasal 33 UU 45. Dengan menunjuk kementrian yang terkait sebagai regulatornya atau dikembalikan pada pertamina selaku kepanjangan tangan pemerintah untuk pengelolaanya, namun dengan catatan ada good will dan lawinforcement yang bagus dari pemerintah. Sudah saatnya bangsa ini mampu berdiri diatas kaki sendiri dengan kemampuna dan teknologi yang dimiliki sendiri tanpa tergantung pada bangsa lain, SEMOGA…….??

0 komentar: