Senin, 30 September 2013

YURIDIS 1: Membedah Kesiapan Daerah Istimewa Surakarta



Salam Ilmiah pembaca, pada kesempatan yang lalu (22/09/20013) KSP Principium telah menyelenggarakan diskusi dengan lingkup seluruh anggota KSP Principium Fakultas Sebelas Maret dengan tema "Membedah Kesiapan Daerah Istimewa Surakarta". Bagi kemarin yang tidak sempat mengikuti acaranya, dibawah ini ada sebagian rangkuman hasil diskusi kermari. Silahkan membaca :)


Membedah Kesiapan Daerah Istimewa Surakarta



Daerah Istimewa Surakarta adalah daerah otonomi khusus (bahasa waktu itu daerah istimewa) yang secara de facto pernah ada antara Agustus 1945 sampai Juli 1946. Penetapan status otonomi khusus ini dalam kurun waktu tersebut tidak pernah ditetapkan dengan sebuah Undang-undang tersendiri berdasarkan pasal 18 UUD yang asli, namun hanya dengan Piagam Penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan UU No 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia.

Selama berlakunya Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, pemerintah berhasil melahirkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 yang pada dasarnya menyatakan Daerah Istimewa Surakarta itu untuk sementara waktu dipandang sebagai Karesidenan. Bahwa Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, maupun Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 bersifat sementara. Berlakunya Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946, pemerintah berhasil melahirkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1946 yang pada dasarnya menyatakan Daerah Istimewa Surakarta itu untuk sementara waktu dipandang sebagai Karesidenan. Berisi:

1. Agar suasana kekacauan di Surakarta dapat segera reda, maka untuk sementara Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta diserahkan kepada pemerintah pusat sambil memikirkan tindakan yang dapat diperbuat untuk dapat menenteramkan kembali keadaan.

2. Civiele-lijst (Uang Tunjangan Istana) seyogianya tidak melalui negeri atau tidak melalui pemerintah daerah, tetapi langsung dari pusat. Sebab jika melalui Negeri dikhawatirkan akan dikacau oleh pihak- pihak yang memanfaatkan situasi. Hal ini akhirnya akan dapat mengacaukan jalannya keuangan pemerintahan.

3. Untuk sementara waktu diadakan commissarissen yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Kasunanan dan Mangkunegaran ditambah dengan masing-masing satu wakil dari sipil militer dan wakil rakyat.

Sehingga apabila kondisinya sudah memungkinkan, tentunya kekuasaan pemerintah pusat dikembalikan kepada perdana menteri dan kekuasaan di daerah/Karesidenan Surakarta dikembalikan kepada DIS atau Daerah Istimewa Surakarta.

Namun kemudian DIS dibubarkan pada tangal 16 Juni 1946. Hal ini dikarenakan, sebelumnya berkembang gerakan anti monarki/antiswapraja di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegaran dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegaran dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan land reform oleh golongan Sosialis.

Bahkan pada tanggal 17 oktober 1945, Pepatih Dalem (Perdana Menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan anti-swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro-gerakan anti-swapraja. Kemudian Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru, KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh.

Sejak awal kemerdekaan persoalan Daerah Istimewa dan Daerah Khusus menjadi persoalan pelik. Hal ini tercermin dari “politik ambiguitas” yang diterapkan Pemerintah Pusat dari jaman perjuangan sampai sekarang ini. Politik ambiguitas terjadi karena adanya tarik menarik antara idealisme Pemerintahan Kerajaan seperti Inggris dan Belanda, Pemerintahan Republik Persatuan seperti di Perancis, atau Pemerintahan RIS seperti Amerika Serikat, sempat muncul juga ide tentang Pemerintahan Federasi seperti di Malaysia.

Secara historis DIS memang menjadi persoalan politik cukup rumit, karena kehadiran DIS mendapatkan resistensi politik yang sangat kuat, sementara Keraton Surakarta tidak mempunyai kekuatan politis yang memadai pada saat itu, terutama dalam lobby dengan pemerintah pusat.

apakah Surakarta sudah “siap” apabila permohonan untuk menjadi DIS dikabulkan? Lalu bagaimana menciptakan sinergi antara swapraja dengan pemerintah Indonesia? Hak istimewa apa yang akan diperoleh DIS?

Di dalam diskusi ini, peserta diskusi sebagian menyatakan kesetujuan terhadap rencana yang menjadikan daerah Surakarta menjadi daerah Istimewa namun karna dirasa belum ada kejelasan dari daerah Surakarta maka Surakarta dianggap belum siap untuk menjadi daerah istimewa seperti yogyakarta. Karna untuk menjadi daerah istimewa pun harus mempunyai suatu corak khas yang dapat ditonjolkan misalnya Aceh dengan Islamnya, Yogyakarta dengan rakyatnya yang mendukung pemerintahan rajanya. Dan abdi dalemnya pun tidak pernah menuntut uang karna mereka benar-benar ingin mengabdi sedangkan di Surakarta terkadang masih terjadi konflik. Namun melihat kondisi bahwa daerah Surakarta dibekukan karna seringnya terjadi masalah maka sebagian peserta beranggapan tidak sependapat atau tidak setuju karna kedaulatan dari Surakarta dianggap belum kuat.

0 komentar: