Jumat, 15 Maret 2013

Merajut Benang dalam Sistem Demokrasi Kerakyatan




Oleh :
Michael Arnold Pramudito
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


Demokrasi dalam konsepsi yunani disebut sebagai Government or rule by the people atau juga sering disebut Pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat seperti dalam pidato Abraham Lincoln di Geutsberg-Amerika Serikat. Pada kondisi ini, demokrasi menghendaki adanya kebebasan, kesetaraan berpolitik, serta adanya Sirkulasi Elit yang temporer mengingat demokrasi berangkat dari Keutamaan Warganegara atau Kedaulatan ada ditangan Rakyat. Rocky (2009) menyebutkan bahwa filsafat dibelakang demokrasi adalah penerimaan terhadap Filibilisme manusia, ketidaklengkapan manusia karena itu tentang kemungkinan berbuat salah sehingga konsesus yang dihasilkan demokrasi adalah konsesus yang menjamin kesetaraan Hak dan kebebasan warga Negara (http://raflizulfikr.wordpress.com).

Demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga Pilkada dapat berlangsung dengan bebas, transparan, demokratis, dan, paling penting, dalam suasana damai. Check and balance    di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga berlangsung sangat dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya beberapa kelemahan dalam batang tubuh UUD 1945 yang kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil berbeda dibanding Batang Tubuh UUD 1945 yang asli (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hal. 99).

Perlu diakui bahwa perubahan UUD 1945  hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia. Pasca Amandement UUD 1945 negara Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan yang terjadi muncul sangat beragam dari masyarakat. Hal tersebut sangat wajar sebab di balik sistem demokrasi yang dianut di Indonesia, ditemukan sisi negatif dari perkembangan nilai demokrasi. Perkembangan demokrasi dianggap tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia. Sisi negatif itu muncul bukan dari kehidupan rakyat dalam lingkungan kemasyarakatan, tetapi dari pemerintahan yang berkuasa. Demokrasi yang dianut oleh elite politik bukan demokrasi yang telah dibangun oleh founding father Republik Indonesia, tetapi demokrasi Pontokrasi yaitu konsolidasi antara segelintir pemilik modal dengan para politisi yang duduk di parlement dan pemerintahan. Tidaklah mengherankan bila proses politik di Indonesia menghasilkan kepentingan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Freedom House, Organisasi non pemerintah terkemuka dari AS, yang melakukan riset dan advokasi, kemerdekaan politik dan hak asasi manusia. Laporan penilaian tahunan yang berjudul “Countries at the Crossroads 2012” itu dirilis di Washington DC, Amerika Serikat, Senin 17 September 2012. Laporan tersebut memuat hasil penelitian terhadap 35 negara yang dipandang penting dan strategis di seluruh dunia. Indonesia disorot secara khusus karena telah terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para wartawan. Kepemilikan media juga mengerucut pada kelompok-kelompok tertentu yang jumlahnya semakin sedikit. Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi dan melakukan penyedotan sumberdaya alam secara serampangan. Juga disebutkan keberadaan oligarki-oligarki ekonomi yang mampu memanipulasi kebijakan pemerintah. Dokumen laporan resmi yang diperoleh Kompas 19 September 2012 dari laman resmi Fredoom House (www.freedomhouse.org).

Keadaan ini seolah berbanding lurus dengan para elite politik yang seakan belum bisa dewasa untuk menyikapi apa arti demokrasi. Buktinya, pada rapat anggota DPR yang membahas mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM, mereka seakan akan bagai singa yang meraung raung untuk mempertahankan kekuasaan. Sangat terlihat sekali, bahwa sebenarnya yang mereka anut bukan demokrasi, tetapi suara mayoritas yang menekan suara minoritas, demokrasi bagi mereka adalah jalan untuk mempertahankan kekuasaan, menggunakan popularitas sebagai alat politik.

Parahnya lagi muncul dua ribuan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin dan anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan itu kuat menandakan bahwa sebagian pemimpin dan anggota Badan Anggaran, yang seharusnya mengawasi kualitas belanja negara, justru menjadi episentrum persoalan: bak pagar makan tanaman (Tempo, 3-9 September 2012).

Pada tanggal 7 Desember 2011 Sondang Hutanggalung, seorang aktivis mahasiswa melakukan aksi bakar diri didepan istana sebagai protes kepada pemerintahan SBY yang dia anggap gagal dan tidak pro rakyat. Tanggal 10 Desember, tepat dihari Hak Asasi Manusia Sondang wafat sebagai martir. Apa yang sebenarnya dituntut Sondang adalah exspresi politik dari ‘mayoritas diam’ yang tidak puas dengan kondisi yang ada (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: v).

Seakan rakyat juga tidak pernah diam. Respons politik rakyat berkembang hingga berbagai sektor seperti mahasiswa, petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan dan lembaga swadaya masyarakat. Pergerakan mereka didukung para aktifis perempuan, aktifis lingkungan, pejuang HAM. Mereka bergerak menyuarakan kepentingan politik rakyat. Perkembangan ini kemudian didukung dengan logika masyarakat yang mulai berkembang ke arah yang positif, membuktikan bahwa rakyat terus bergerak memperjuangkan demokrasi kerakyatan.

Sebenarnya yang memang sangat perlu diperhatikan dalam lingkungan kemasyarakatan adalah bagaimana pemerintah dapat mengatasi sistem birokrasi yang saling bertentangan atau berlawanan, ini muncul karena pergantian sistem birokrasi dari berbagai rejim yang berkuasa, peninggalan antara berbagai rejim ini menyebabkan ketidak seimbangan didalam pemerintahan, peninggalan rejim lama yang masih cenderung korup, tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak efektif, jika masih belum dimusnahkan maka sebaik apapun pemerintah mengorganisir, maka pemerintahan akan tetap belum demokratis. Birokrasi diciptakan untuk memberikan pelayanan kepada publik.  Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang harus ada. (Toenggul  P.  Siagian: 2000).

Jokowidodo menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rezim orde lama sangat dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang tak sejalan dengan sistem yang ia bangun ia pecat dan digantikan dengan yang baru. Dengan dengan ketegasan ini ia berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sisitem yang ia bangun. Jokowi bukanlah tipe ‘pemimpin peragu’ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam pemerintahanya  (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: 305).

Peningkatan sistem birokrasi kerakyatan ini juga harus diimbangi dengan Keberpihakan Ekonomi Kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

UKM terbukti mampu menjadi bantalan bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, sektor UKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (padat karya angkatan kerja tidak terdidik dan terlatih) sehingga mampu memperluas lapangan kerja untuk mengurangi jumlah pengganguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Riset Bank Indonesia menunjukkan, sepanjang krisis ekonomi periode 1998 lalu, hanya 4 persen UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang bangkrut, 31 persen mengurangi skala usaha dan 65 persen mampu mempertahankan kenerja usahanya. (Koran Tempo, Rabo 19 sept 2012).

Sehingga dengan adanya berbagai sistem pemerintahan yang pro Rakyat, mampu menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dan sebagai akar dari pembangunan Indonesia menjadi negara maju.  

0 komentar: