Kamis, 29 Desember 2011

TELAAH KEDUDUKAN DAN PENGATURAN HUKUM DEBT COLLECTOR DALAM PERSPEKTIF SINKRONISASI HUKUM DI INDONESIA (KAJIAN PENGATURAN PRINSIP PERBANKAN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ASPEK PERIKATAN PERDATA)


Disusun oleh :
Galuh Wahyu Kumalasari
Diyah Ayu Hardiyani
A.      Latar Belakang Masalah
Menelaah kematian Irzen Octa yang diduga dianiaya debt collector Citibank terkait pelunasan kartu kredit, tentu harus menjadi perhatian bersama. Kasus yang menunjukkan benturan kepentingan entitas bisnis dengan aspek pidana demikian, semakin kentara ketika debt collector ditengarai menjadi penyebab kematian sang nasabah. Di satu sisi, kehadiran debt collector menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian berlandas hukum perdata antara bank dan nasabah tidak berjalan efektif dan efisien. Sementara di sisi yang lain menunjukkan kerancuan pengaturan yang patut dikaji dan ditelaah berkait masuknya debt collector dalam ranah perikatan perdata bank dan nasabah.
Ditilik dari produk perbankan yang potensial menghadirkan campur tangan debt collector, kartu kredit menjadi salah satu rujukannya. Pihak perbankan saat ini berlomba-lomba untuk menawarkan kartu kredit, karena produk perbankan ini jauh lebih menguntungkan dibanding produk lain.
Gencarnya penggunaan kartu kredit ternyata berpeluang pula menimbulkan permasalahan baru, berwujud kredit macet. Agar penyelesaian masalah kredit macet demikian tidak terjerembab pada pusaran masalah yang lain, sejatinya telah ada ketentuan dalam PBI 11/11/2009 dan surat edaran BI 11/10/DASP Tahun 2009. Kedua peraturan tersebut menjelaskan bahwa penggunaan jasa pihak lain dalam proses penagihan utang harus digunakan untuk kredit dengan kolektibilitas macet (Harian Suara Merdeka, 29 April 2011).
Masalah kredit macet sebenarnya dapat diselesaikan secara hukum perdata, akan tetapi efektifitas dan efisiensi mekanistik penyelesaian litigatif demikian masih menyisakan masalah bagi bank yang mempunyai volume kredit macet besar. Guna mengatasi problem efektifitas inilah, debt collector dilibatkan dalam penagihan kredit macet.
Pada kasus yang lebih ringan, setidaknya kehadiran debt collector, menimbulkan keresahan bagi nasabah. Dalam hal ini nasabah merasa tidak ada perjanjian dengan debt collector melainkan dengan pihak bank, sehingga nasabah tidak berkenan membayar sejumlah uang tagihan. Berdasarkan uraian demikian, banyak pertanyaan yang harus dijawab, dimana sesungguhnya perlindungan nasabah atas kehadiran debt collector? Bagaimana pula kedudukan debt collector dalam perikatan nasabah dan perbankan? Atau bagaimanakah tanggungjawab bank atas keterlibatan debt collector? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menarik minat peneliti untuk ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini guna mengeliminir ekses yang timbul.
B.     Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dogmatik, yang menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini juga bersifat terapan, yaitu menggunakan ilmu hukum dalam menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tentu saja sifat penelitian ini diarahkan sepenuhnya guna menelaah bagaimanakah kedudukan dan pengaturan hukum debt collector dalam perspektif sinkronisasi hukum di Indonesia? Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian yang peneliti lakukan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan, bahkan hingga aspek ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio legis dari ketentuan undang-undang. Jika dasar ontologis dan landasan filosofis berkaitan dengan suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti (Peter Mahmud Marzuki, 2005:96).
C.    Pembahasan
1.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia






Mencermati skematik di atas dapat diketahui bahwa debt collector setidaknya mempunyai 3 (tiga) payung hukum berdasarkan perspektif hukum di Indonesia dalam menjalankan profesinya. Adapun uraian lebih lanjut mengenai payung hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Berdasarkan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam hubungan kerjasama antara pihak bank dengan nasabah, debt collector bertindak sebagai pihak ketiga. Debt collector merupakan pihak ketiga yang direkrut bank untuk menjalankan pekerjaan penagihan kewajiban nasabah kepada bank. Perikatan debt collector dengan bank bukan hanya berdasarkan peraturan perjanjian dalam hukum perdata, namun juga terdapat berbagai kewajiban. Kewajiban tersebut diantaranya, pihak ketiga harus: melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada Bank yang merekrut, yang selanjutnya oleh pihak bank akan dilaporkan kepada pihak Bank Indonesia; memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan; menjaga kerahasiaan data.
2.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 17 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Mencermati bunyi Pasal 17 ayat (5) dapat diketahui bahwa debt collector berfungsi sebagai pihak ketiga. Ditegaskan pula bahwa mengenai kartu kredit, debt collector dilibatkan oleh pihak bank guna melakukan tugas penagihan terhadap nasabah.
3.      Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Hubungan kerjasama antara pihak bank dengan debt collector dilakukan berdasarkan perjanjian tertentu dengan kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam kaitan ketika kemudian bank meminta bantuan debt collector, sepenuhnya nasabah harus mengetahui, karena pada akhirnya akan berkaitan dengan kepentingan nasabah.
2.      Telaah Kritis Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Terhadap Prinsip Kehati-hatian Perbankan, Perlidungan Konsumen, dan Apek Perjanjian Perdata Menurut Hukum di Indonesia
Mencermati skematik kedudukan dan pengaturan hukum debt collector ditinjau dari tiga perspektif diatas, akan dikaji lebih lanjut mengenai sinkronisasi Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip Perbankan, Perlindungan Konsumen dan Aspek Perikatan Perdata.
1.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip Perbankan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)
Mencermati bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia yang menyatakan bahwa penerbit atau dalam kaitan ini adalah pihak bank dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melaksanakan kegiatannya. Pernyataan tersebut dapat dilihat Pada Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia sebagai payung hukum dalam melaksanakan kemitraan bank dengan pihak ketiga. Kemitraan dengan pihak ketiga dilakukan pula oleh bank dalam melakukan penagihan terhadap nasabahnya yang masih memiliki  kewajiban terhadap pihak bank namun belum tertunaikan. Pihak ketiga yang kemudian direkrut pihak bank untuk tugas ini adalah jasa debt collector.
Debt collector melakukan penagihan terhadap nasabah dengan kuasa yang diberikan oleh pihak bank. Bahkan dalam Pasal 17 ayat (5) dinyatakan mengenai jaminan bahwa pihak ketiga dapat pula melakukan penagihan terhadap kartu kredit terhadap nasabah yang mengalami kredit macet. Penggunaan pihak ketiga oleh bank dalam upaya penagihan kredit macet terhadap nasabah tidak sinkron dengan prinsip perbankan. Prinsip perbankan meliputi prinsip kerahasiaan, kehati-hatian, kepercayaan dan know your customer (prinsip mengenal nasabah).
Pertama, prinsip kerahasiaan perbankan, menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Bahwa pihak bank seharusnya tidak membocorkan sedikitpun identitas dari nasabah sebagai wujud penerapan prinsip kerahasiaan perbankan dalam melindungi nasabahnya. Pemberian informasi mengenai nasabah terhadap pihak ketiga harus diketahui dan atas persetujuan nasabah. Pada kenyataannya secara sepihak bank menggunakan jasa pihak ketiga debt collector untuk melakukan penagihan terhadap nasabah tanpa diketahui oleh pihak nasabah sebelumnya. Bank memberikan identitas serta nominal kredit macet nasabah kepada pihak ketiga. Hal yang demikian merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kepercayaan perbankan.
Kedua, Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Fakta bahwa bank kurang optimal dalam menerapkan prinsip ini dapat dilihat dari perekrutan pihak ketiga sebagai penagih kredit macet dari nasabah.
Ketiga, prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 1998. Ironis ketika mencermati paparan mengenai prinsip kepercayaan semacam ini, disatu sisi nasabah memberikan kepercayaan kepada bank berkaitan dengan keuangan, di sisi lain pihak bank melakukan kemitraan dengan pihak ketiga tanpa diketahui oleh nasabah. Bahkan seringkali nasabah mengalami tindakan yang tidak menyenangkan dari pihak ketiga debt collector saat penagihan berlangsung. Sekali lagi bank telah menyimpangi prinsip yang seharusnya diterapkan.
Keempat, prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
Mencermati paparan tersebut maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sinkron dengan prinsip perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Bahkan dapat dilihat pula bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang mengatur bahwa bank dapat menggandeng pihak ketiga, hal ini tidak sesuai dengan prinsip mengenal nasabah yang diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2010. Bank tidak perlu menggunakan jasa pihak ketiga debt collector seandainya prinsip tersebut benar-benar diterapkan.
2.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999)
Melihat paparan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tersebut dapat dilihat sebuah ketidaksinkronan kedua peraturan tersebut. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dinyatakan bahwa bank dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam menyelenggarakan urusannya, dalam kaitan penagihan kredit macet terhadap nasabah oleh debt collector. Selanjutnya dilihat dari prinsip perlindungan konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pengalihan tanggung jawab. Tanggung jawab tugas penagihan kewajiban nasabah terhadap bank seharusnya merupakan tanggungjawab bank sebagai pelaku usaha. Namun pada kenyataannya pihak bank memberikan kuasa kepada debt collector untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai pengalihan tanggungjawab, terlebih tanpa sepengetahuan nasabah sebagai pihak kedua.
Selanjutnya mengenai paparan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 bahwa pihak ketiga dapat melakukan penagihan terhadap kartu kredit. Masuknya pihak ketiga debt collector sebagai pihak yang melakukan penagihan terhadap nasabah tidak pernah diperjanjikan antara bank dengan nasabah karena perikatan hanya terjadi diantara nasabah dan bank. Seringkali bank sebagai pihak yang kuat secara finansial memanfaatkan kesempatan dengan menentukan klausula baku dalam perjanjian dengan nasabah. Pihak ketiga penagih kredit macet dapat ikut masuk padahal belum diperjanjikan sebelumnya dengan nasabah. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Dengan demikian maka Peraturan Bank Inonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang mengalihkan tanggung jawab penagihan hutang terhadap debt collector telah melanggar UU Perlindungan Konsumen. Penggunaan pihak ketiga merupakan perbuatan sepihak yang dibuat oleh bank, padahal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak diperbolehkan menerapkan pembuatan klausula baku oleh salah satu pihak. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kedua peraturan tersebut tidak sinkron.
3.      Sinkronisasi Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11 11/PBI/2009 dengan Aspek Perikatan Perdata
Setelah mencermati dan menelaah paparan Pasal-Pasal tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ada sesuatu yang kurang sesuai diantara kedua sisi tersebut. Mengenai kemitraan bank dengan pihak ketiga debt collector bila ditelaah dari sudut pandang Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Kemudian berkaitan dengan Pasal 1338 mengenai Pacta Sunt Servada bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat, maka bank maupun nasabah harus melaksanakan isi perjanjian sebagai undang-undang. Perjanjian tersebut dibuat antara dua pihak dan klausula didalamnya harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika klausula ternyata dibuat hanya oleh satu pihak, maka perjanjian dapat dibatalkan. Jika pihak bank menyimpangi dengan bermitra dengan pihak ketiga tanpa diketahui nasabah, maka pihak bank telah melanggar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dan dapat dikenai sanksi.
Selain berbagai pelanggaran tersebut, seringkali pihak debt collector melakukan kekerasan dalam melakukan penagihan terhadap nasabah. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada debt collector karena bank tidak bersedia untuk mempertanggungjawabkan. Seharusnya pihak bank turut bertanggungjawab, karena bank yang memberikan kuasa terhadap debt collector tanpa sepengetahuan nasabah. Ketentuan bahwa pertanggungjawaban ada pada pihak bank juga ada pada Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dinyatakan bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sesuai dengan prisip Perikatan Perdata pada Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Dengan melihat berbagai gambaran tersebur diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat ketidaksinkronan antara Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip-prinsip Perbankan, Prinsip Perlindungan Konsumen mengenai klausula baku serta tidak sesuai dengan prinsip perikatan perdata. Maka harus diadakan perubahan terhadap peraturan bank Indonesia tersebut agar dapat lebih sinkron dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
D.    Kesimpulan
1. Kedudukan dan pengaturan hukum Debt Collector sejatinya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor  11/11/2009 sebagai pihak ketiga diantara pihak bank dan nasabah. Adapun berkait aspek perjanjian antara Bank dan Debt Collector, berlaku ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
2. Kedudukan Debt Collector yang notabene diatur dalam PBI, ketika ditinjau dari perspektif Prinsip Perbankan, Perlindungan Konsumen, dan Aspek Perikatan Perdata menunjukkan ketidaksinkronan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Budi Untung. 2005. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi
Hans Kelsen. 1995. General Theory of law and State. Diterjemahkan oleh Somardi, Rimdi Press. hlm.1
 Harian Suara Merdeka, 29 april 2011
Hasanuddin Aco, “Debt collector Tanggung Jawab Bank”, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/07355660/BI.Debt.Collector.Tanggung.Jawab.Bank terakhir diakses 4 April 2011, 10.28
Johannes Ibrahim. 2004. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif. Bandung: CV.Utomo
John Hart Ely. 1980. Democracy and Distrust:A Theory of Judicial Review. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
Kasmir. 2004. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lon Fuller, The Morally of Law, Yale University Press dalam Khudzaifah Dimyati, 2004:63
Mason A. “Trends in Constitutional Interpretation”. University of New South Wales law Journal. Volume 237. 1995. Hlm.18
Mulhadi S.H.,M.Hum. 2005. Prinsip Kehati-hatian Dalam Lerangka UU Perbankan di Indonesia. Medan: Unversitas Sumatera Utara
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum Bandung. Bandung: Alumni
Subekti. 1992. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: P.Intermasa
WikipediaBahasaIndonesia, “Perlindungan Konsumen”,  http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen terakhir diakses 29 April 2011, 10.43
Produk Perundangan
Undang-Undang  Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Peraturan Bank Indonesia Nomor 03/10/PBI/2010
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/2009

0 komentar: