Disusun oleh :
Galuh Wahyu Kumalasari
Diyah Ayu Hardiyani
A. Latar Belakang Masalah
Menelaah kematian Irzen Octa yang diduga dianiaya debt collector Citibank terkait
pelunasan kartu kredit, tentu harus menjadi
perhatian bersama. Kasus
yang menunjukkan benturan kepentingan entitas bisnis dengan aspek pidana
demikian, semakin kentara ketika debt
collector ditengarai menjadi penyebab kematian sang nasabah. Di satu sisi,
kehadiran debt collector menunjukkan
bahwa mekanisme penyelesaian berlandas hukum perdata antara bank dan nasabah
tidak berjalan efektif dan efisien. Sementara di sisi yang lain menunjukkan
kerancuan pengaturan yang patut dikaji dan ditelaah berkait masuknya debt collector dalam ranah perikatan
perdata bank dan nasabah.
Ditilik dari produk perbankan yang potensial
menghadirkan campur tangan debt collector,
kartu kredit menjadi salah satu rujukannya. Pihak perbankan saat ini berlomba-lomba
untuk menawarkan kartu kredit, karena produk perbankan ini jauh lebih
menguntungkan dibanding produk lain.
Gencarnya penggunaan kartu kredit ternyata berpeluang
pula menimbulkan permasalahan baru, berwujud kredit macet. Agar penyelesaian
masalah kredit macet demikian tidak terjerembab pada pusaran masalah yang lain,
sejatinya telah ada ketentuan dalam PBI 11/11/2009 dan surat edaran BI
11/10/DASP Tahun 2009. Kedua peraturan tersebut menjelaskan
bahwa penggunaan jasa pihak lain dalam proses penagihan
utang harus digunakan untuk kredit dengan kolektibilitas macet (Harian Suara Merdeka, 29 April 2011).
Masalah kredit macet sebenarnya dapat diselesaikan secara hukum
perdata, akan tetapi efektifitas dan
efisiensi mekanistik penyelesaian litigatif demikian masih menyisakan masalah
bagi bank
yang mempunyai volume kredit macet besar. Guna mengatasi problem efektifitas inilah, debt collector dilibatkan dalam penagihan
kredit macet.
Pada kasus yang lebih ringan, setidaknya kehadiran debt collector, menimbulkan keresahan
bagi nasabah. Dalam hal ini nasabah merasa tidak ada perjanjian dengan debt collector melainkan dengan pihak
bank, sehingga nasabah tidak berkenan membayar sejumlah uang tagihan. Berdasarkan
uraian demikian, banyak pertanyaan yang harus dijawab, dimana sesungguhnya perlindungan
nasabah atas kehadiran debt collector?
Bagaimana pula kedudukan debt collector dalam
perikatan nasabah dan perbankan? Atau bagaimanakah tanggungjawab bank atas
keterlibatan debt collector?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menarik minat peneliti untuk ditelaah lebih
jauh dalam penelitian ini guna mengeliminir ekses yang timbul.
B.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
dogmatik, yang menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya
penelitian ini termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma hukum. Penelitian ini juga bersifat terapan, yaitu menggunakan ilmu
hukum dalam menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tentu saja sifat
penelitian ini diarahkan sepenuhnya guna menelaah bagaimanakah kedudukan dan
pengaturan hukum debt collector dalam
perspektif sinkronisasi hukum di Indonesia? Berdasarkan pendekatan yang
digunakan, penelitian yang peneliti lakukan ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan. Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami
hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan, bahkan hingga aspek
ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio legis dari ketentuan
undang-undang. Jika dasar ontologis dan landasan filosofis berkaitan dengan
suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio
legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang
diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti (Peter Mahmud Marzuki,
2005:96).
C. Pembahasan
1.
Kedudukan
dan Pengaturan Hukum Debt collector
dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Mencermati
skematik di atas dapat diketahui bahwa debt
collector setidaknya mempunyai 3 (tiga) payung hukum berdasarkan perspektif
hukum di Indonesia dalam menjalankan profesinya. Adapun uraian lebih lanjut
mengenai payung hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kedudukan
dan Pengaturan Hukum Debt collector
Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Berdasarkan Pasal tersebut dapat
diketahui bahwa dalam hubungan kerjasama antara pihak bank dengan nasabah, debt collector bertindak sebagai pihak
ketiga. Debt collector merupakan
pihak ketiga yang direkrut bank untuk menjalankan pekerjaan penagihan kewajiban
nasabah kepada bank. Perikatan debt
collector dengan bank bukan hanya berdasarkan peraturan perjanjian dalam
hukum perdata, namun juga terdapat berbagai kewajiban. Kewajiban tersebut
diantaranya, pihak ketiga harus: melaporkan rencana dan realisasi kerjasama
dengan pihak lain kepada Bank yang merekrut, yang selanjutnya oleh pihak bank
akan dilaporkan kepada pihak Bank Indonesia; memiliki bukti mengenai keandalan
dan keamanan sistem yang digunakan; menjaga kerahasiaan data.
2. Kedudukan
dan Pengaturan Hukum Debt collector
Pasal 17 ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Mencermati bunyi Pasal 17 ayat (5) dapat
diketahui bahwa debt collector
berfungsi sebagai pihak ketiga. Ditegaskan pula bahwa mengenai kartu kredit, debt collector dilibatkan oleh pihak
bank guna melakukan tugas penagihan terhadap nasabah.
3. Kedudukan
dan Pengaturan Hukum Debt collector
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Hubungan kerjasama antara pihak
bank dengan debt collector dilakukan
berdasarkan perjanjian tertentu dengan kesepakatan kedua belah pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian. Dalam kaitan ketika kemudian bank meminta bantuan debt collector, sepenuhnya nasabah harus
mengetahui, karena pada akhirnya akan berkaitan dengan kepentingan nasabah.
2. Telaah Kritis Kedudukan dan
Pengaturan Hukum Debt collector
Terhadap Prinsip Kehati-hatian Perbankan, Perlidungan Konsumen, dan Apek
Perjanjian Perdata Menurut Hukum di Indonesia
Mencermati
skematik kedudukan dan pengaturan hukum debt
collector ditinjau dari tiga perspektif diatas, akan dikaji lebih lanjut
mengenai sinkronisasi Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip Perbankan,
Perlindungan Konsumen dan Aspek Perikatan Perdata.
1. Sinkronisasi
Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip Perbankan
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)
Mencermati bahwa dalam Peraturan Bank Indonesia yang
menyatakan bahwa penerbit atau dalam kaitan ini adalah pihak bank dapat
bekerjasama dengan pihak ketiga dalam melaksanakan kegiatannya. Pernyataan
tersebut dapat dilihat Pada Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia sebagai payung
hukum dalam melaksanakan kemitraan bank dengan pihak ketiga. Kemitraan dengan
pihak ketiga dilakukan pula oleh bank dalam melakukan penagihan terhadap
nasabahnya yang masih memiliki kewajiban
terhadap pihak bank namun belum tertunaikan. Pihak ketiga yang kemudian
direkrut pihak bank untuk tugas ini adalah jasa debt collector.
Debt collector
melakukan penagihan terhadap nasabah dengan kuasa yang diberikan oleh pihak
bank. Bahkan dalam Pasal 17 ayat (5) dinyatakan mengenai jaminan bahwa pihak
ketiga dapat pula melakukan penagihan terhadap kartu kredit terhadap nasabah
yang mengalami kredit macet. Penggunaan pihak ketiga oleh bank dalam upaya
penagihan kredit macet terhadap nasabah tidak sinkron dengan prinsip perbankan.
Prinsip perbankan meliputi prinsip kerahasiaan, kehati-hatian, kepercayaan dan know your customer (prinsip mengenal
nasabah).
Pertama, prinsip kerahasiaan perbankan, menurut
Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Bahwa pihak bank seharusnya tidak membocorkan sedikitpun identitas
dari nasabah sebagai wujud penerapan prinsip kerahasiaan perbankan dalam
melindungi nasabahnya. Pemberian informasi mengenai nasabah terhadap pihak
ketiga harus diketahui dan atas persetujuan nasabah. Pada kenyataannya secara
sepihak bank menggunakan jasa pihak ketiga debt
collector untuk melakukan penagihan terhadap nasabah tanpa diketahui oleh
pihak nasabah sebelumnya. Bank memberikan identitas serta nominal kredit macet
nasabah kepada pihak ketiga. Hal yang demikian merupakan bentuk pelanggaran
terhadap prinsip kepercayaan perbankan.
Kedua, Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip
yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat
berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2)
UU No 10 tahun 1998. Fakta bahwa bank kurang optimal dalam menerapkan prinsip
ini dapat dilihat dari perekrutan pihak ketiga sebagai penagih kredit macet
dari nasabah.
Ketiga, prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang
melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana
masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu
menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU
No 10 Tahun 1998. Ironis ketika mencermati paparan mengenai prinsip kepercayaan
semacam ini, disatu sisi nasabah memberikan kepercayaan kepada bank berkaitan
dengan keuangan, di sisi lain pihak bank melakukan kemitraan dengan pihak ketiga
tanpa diketahui oleh nasabah. Bahkan seringkali nasabah mengalami tindakan yang
tidak menyenangkan dari pihak ketiga debt
collector saat penagihan berlangsung. Sekali lagi bank telah menyimpangi
prinsip yang seharusnya diterapkan.
Keempat, prinsip mengenal nasabah adalah prinsip
yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah,
memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang
mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan
yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah
meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang
praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan
dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah,
dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
Mencermati paparan tersebut maka dapat ditarik suatu
benang merah bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sinkron dengan prinsip
perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Bahkan
dapat dilihat pula bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang
mengatur bahwa bank dapat menggandeng pihak ketiga, hal ini tidak sesuai dengan
prinsip mengenal nasabah yang diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2010. Bank tidak perlu menggunakan jasa pihak ketiga debt collector seandainya prinsip
tersebut benar-benar diterapkan.
2. Sinkronisasi
Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dengan Prinsip
Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999)
Melihat paparan dalam Peraturan Bank Indonesia dan
Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999 tersebut dapat dilihat sebuah ketidaksinkronan kedua peraturan tersebut.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dinyatakan bahwa bank dapat
bekerjasama dengan pihak ketiga dalam menyelenggarakan urusannya, dalam kaitan
penagihan kredit macet terhadap nasabah oleh debt collector. Selanjutnya dilihat dari prinsip perlindungan
konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pengalihan tanggung
jawab. Tanggung jawab tugas penagihan kewajiban nasabah terhadap bank
seharusnya merupakan tanggungjawab bank sebagai pelaku usaha. Namun pada
kenyataannya pihak bank memberikan kuasa kepada debt collector untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Dengan
demikian Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 melanggar ketentuan
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai pengalihan tanggungjawab,
terlebih tanpa sepengetahuan nasabah sebagai pihak kedua.
Selanjutnya mengenai paparan dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 bahwa pihak ketiga dapat melakukan penagihan
terhadap kartu kredit. Masuknya pihak ketiga debt collector sebagai pihak yang melakukan penagihan terhadap
nasabah tidak pernah diperjanjikan antara bank dengan nasabah karena perikatan
hanya terjadi diantara nasabah dan bank. Seringkali bank sebagai pihak yang
kuat secara finansial memanfaatkan kesempatan dengan menentukan klausula baku
dalam perjanjian dengan nasabah. Pihak ketiga penagih kredit macet dapat ikut
masuk padahal belum diperjanjikan sebelumnya dengan nasabah. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak
perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Dengan demikian maka Peraturan Bank Inonesia Nomor 11/11/PBI/2009 yang
mengalihkan tanggung jawab penagihan hutang terhadap debt collector telah melanggar UU Perlindungan Konsumen. Penggunaan
pihak ketiga merupakan perbuatan sepihak yang dibuat oleh bank, padahal dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak diperbolehkan menerapkan pembuatan
klausula baku oleh salah satu pihak. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa
kedua peraturan tersebut tidak sinkron.
3. Sinkronisasi
Vertikal Peraturan Bank Indonesia Nomor 11 11/PBI/2009 dengan Aspek Perikatan
Perdata
Setelah mencermati dan menelaah paparan Pasal-Pasal
tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ada sesuatu yang kurang sesuai diantara
kedua sisi tersebut. Mengenai kemitraan bank dengan pihak ketiga debt collector bila ditelaah dari sudut
pandang Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Kemudian berkaitan dengan Pasal 1338 mengenai Pacta Sunt Servada bahwa perjanjian
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat, maka bank maupun
nasabah harus melaksanakan isi perjanjian sebagai undang-undang. Perjanjian
tersebut dibuat antara dua pihak dan klausula didalamnya harus berdasarkan
kesepakatan para pihak. Jika klausula ternyata dibuat hanya oleh satu pihak,
maka perjanjian dapat dibatalkan. Jika pihak bank menyimpangi dengan bermitra
dengan pihak ketiga tanpa diketahui nasabah, maka pihak bank telah melanggar
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tersebut dan dapat dikenai sanksi.
Selain berbagai pelanggaran tersebut, seringkali
pihak debt collector melakukan
kekerasan dalam melakukan penagihan terhadap nasabah. Pertanggungjawaban
sepenuhnya ada pada debt collector
karena bank tidak bersedia untuk mempertanggungjawabkan. Seharusnya pihak bank
turut bertanggungjawab, karena bank yang memberikan kuasa terhadap debt collector tanpa sepengetahuan
nasabah. Ketentuan bahwa pertanggungjawaban ada pada pihak bank juga ada pada
Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009. Berdasarkan pemaparan
tersebut dapat dinyatakan bahwa Peraturan Bank Indonesia tidak sesuai dengan
prisip Perikatan Perdata pada Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata.
Dengan
melihat berbagai gambaran tersebur diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat
ketidaksinkronan antara Peraturan Bank Indonesia dengan Prinsip-prinsip
Perbankan, Prinsip Perlindungan Konsumen mengenai klausula baku serta tidak
sesuai dengan prinsip perikatan perdata. Maka harus diadakan perubahan terhadap
peraturan bank Indonesia tersebut agar dapat lebih sinkron dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi.
D. Kesimpulan
1. Kedudukan dan pengaturan
hukum Debt Collector sejatinya diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/2009 sebagai pihak ketiga diantara pihak bank dan nasabah. Adapun berkait
aspek perjanjian antara Bank dan Debt Collector, berlaku ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata.
2. Kedudukan Debt Collector
yang notabene diatur dalam PBI, ketika ditinjau dari perspektif Prinsip
Perbankan, Perlindungan Konsumen, dan Aspek Perikatan Perdata menunjukkan
ketidaksinkronan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
DAFTAR
PUSTAKA
Budi
Untung. 2005. Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta: Andi
Hans Kelsen. 1995. General Theory of law and State. Diterjemahkan oleh Somardi, Rimdi
Press. hlm.1
Harian Suara
Merdeka, 29 april 2011
Hasanuddin Aco, “Debt collector
Tanggung Jawab Bank”, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/07355660/BI.Debt.Collector.Tanggung.Jawab.Bank terakhir diakses 4 April 2011, 10.28
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/07355660/BI.Debt.Collector.Tanggung.Jawab.Bank terakhir diakses 4 April 20011, pukul
11.09 WIB
http://khotibwriteinc.blogspot.com/2008/10/perlindungan-hukum-bagi-nasabah.html terakhir diakses 4 April 20011, pukul
10.45 WIB
Johannes
Ibrahim. 2004. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif. Bandung:
CV.Utomo
John
Hart Ely. 1980. Democracy and Distrust:A Theory of Judicial Review. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press
Kasmir.
2004. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lon Fuller, The
Morally of Law, Yale University Press dalam Khudzaifah Dimyati, 2004:63
Mason
A. “Trends in Constitutional Interpretation”. University of New South Wales law
Journal. Volume 237. 1995. Hlm.18
Mulhadi S.H.,M.Hum. 2005. Prinsip Kehati-hatian Dalam
Lerangka UU Perbankan di Indonesia. Medan: Unversitas Sumatera Utara
Peter
Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Bandung. Bandung: Alumni
Subekti.
1992. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: P.Intermasa
WikipediaBahasaIndonesia,
“Perlindungan Konsumen”, http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
terakhir diakses 29 April 2011, 10.43
Produk
Perundangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata
Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009
Peraturan Bank
Indonesia Nomor 03/10/PBI/2010
Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/10/2009
0 komentar:
Posting Komentar