Disusun oleh:
Citra Widi Widiyawati (NIM E0009082)
Destamia Mutiara Arruum (NIM E0009094)
Intan Permata Putri (NIM E0009168)
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konsep hukum progesif merupakan
hukum yang memanusiakan manusia. Hukum progresif merupakan hukum yang hasil
dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini Satjipto
Raharjo berpendapat bahwa hukum progresif
mempunyai cita-cita yang besar dalam kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor: 46/PUU-VII/2010
menyatakan bahwa mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan oleh Hj.
Aisyah Mochtar alias Machicha binti H. Mochtar Ibrahim.
Judicial review yang dilakukan atas
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai nilai-nilai yang bersifat
progresif. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
pasca judicial review berbunyi,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Ketika memutus perkara tersebut terjadi
concuring
opinion. Pendapat hakim konstitusi Maria Farida Indrati bahwa secara teoritis
norma agama atau kepercayaan tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk
dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan
transedental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan
penciptanya; sedangkan norma hukum dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai
perwujudan kesepakatan warga atau masyarakat dengan negara sehingga dapat
dipaksakan keberlakuannya oleh negara.
Fakta yang
terjadi selama ini kedudukan anak diluar nikah lemah dimata hukum, dan tidak
ada lembaga yang melindungi anak-anak diluar nikah tersebut. Pasca putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut banyak terjadi pro dan kontra di dalam masyarakat
Indonesia. Mereka yang pro menilai putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
jaminan dan perlindungan bagi anak luar kawin. Karena sebelum putusan Mahkamah
Konstitusi itu, anak luar kawin hanya
punya hubungan dengan ibu dan keluarga sang ibu. Pandangan kontra memandang putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut seakan melegalkan perzinaan.
Mencermati
fenomena tersebut penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam
karya tulis yang berjudul “Implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Mengenai Pengakuan Secara
Hukum Hubungan Perdata Terhadap Anak Diluar Perkawinan Berdasarkan Perspektif Hukum Progresif”.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka penulis merumuskan permalahan sebagai berikut :
1. Apakah
putusan hakim Mahkamah Konstitusi Nomor:
46/PUU-VII/2010 telah mengacu pada konsepsi hukum progresif ?
2. Bagaimanakah
implikasi putusan hakim Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap pengakuan secara hukum hubungan
perdata anak di luar nikah?
PEMBAHASAN
A.
Penegakan
Hukum Progresif Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Vii/2010
Mengenai Judicial Review Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Terhadap Hak-Hak Keperdataan Anak Di Luar Nikah
Pengajuan uji materi oleh Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim terhadap Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut bermula dari hubungan pernikahan siri Hj. Aisyah Mochtar alias Machica
binti H. Mochtar Ibrahim dengan Moerdiono pada tanggal 20 Desember 1993 dan
dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Tujuan Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim mengajukan hak uji
materil ke Mahkamah Konstitusi, yakni agar Muhammad Iqbal Ramadhan mendapat
status hukum tetap dan diakui oleh keluarga Moerdiono. Hj. Aisyah Mochtar alias
Machica binti H. Mochtar Ibrahim terpaksa mencari keadilan setelah
keberadaan Muhammad Iqbal Ramadhan tidak
diakui Moerdiono, juga mengabaikan hak-hak perdata Muhammad Iqbal Ramadhan,
seperti uang bulanan sebagai biaya hidup dan biaya sekolah.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU)
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebelum judicial review berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Tidak
adil ketika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena
hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya saja. Hal ini menimbulkan
ketidakadilan bagi si anak. Anak yang lahir di luar nikah itu posisinya
rawan, tidak berdosa. Tapi dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 anak dan ibunya yang menanggung beban
moral, yang seharusnya itu adalah tanggung jawab ayah biologisnya juga. Selain
itu, tidak adil pula ketika Pasal 43 ayat (1) tersebut membebaskan laki-laki
yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan
kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut
sebagai bapaknya. Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di
luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang
dilahirkan di luar perkawinan”.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 sebelum uji materi, memberikan pembedaan hukum bagi anak di
luar nikah dengan anak dari hasil pernikahan yang sah. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28B ayat (2).
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (3) dan
(4) tentang Kesejahteraan Anak mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam
rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap
anak.Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat malaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak
merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian,
maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 sebelum uji materi, memberikan pembedaan hukum bagi anak di luar
nikah dengan anak dari hasil pernikahan yang sah. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28B ayat (2), “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengindikasikan
adanya diskriminasi antara anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan anak yang
lahir atas ikatan pernikahan, mempunyai hubungan keperdataan dari ayah dan
ibunya. Anak di luar nikah mendapatkan pembatasan hukum, khususnya dalam hal
hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, yang seharusnya setiap anak harus
di lindungi hak-haknya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Pasal 4 berbunyi, “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun
dalam kondisi riil kehidupan
bermasyarakat, anak yang lahir di luar nikah lemah dimata hukum, dan tidak ada
lembaga yang melindungi anak-anak diluar nikah tersebut.
Letak nilai-nilai progresivisme dalam hal ini pada
pertimbangan-pertimbangan hakim pada putusan tersebut. Dalam hal ini
hakim-hakim Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian bukan hanya berdasar pada
Pasal-Pasal yang tertulis didalam Undang-undang Dasar akan tetapi
pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut juga mengambil dari living law atau hukum yang hidup didalam
masyarakat.
Mengenai permohonan pemohon mengenai pengujian
Undang-Undang Nomor 1 tahun1974 tentang perkawinan pada Pasal 43 ayat (1)
diterima dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dikabulkan dengan penasiran pada
Pasal tersebut telah menimbulkan diskriminasi pada perkembangan psikologis anak
diluar nikah dan kepastian hukum tentang identitas anak diluar nikah. Keputusan
Mahkamah Konstitusi tersebut membuat terobosan baik dalam hal hukum positif dan
hukum yang hidup dalam perkembangan masyarakat demi terciptanya keadilan bagi
perlakuan anak diluar nikah. Ini yang merupakan salah satu ciri konsep hukum
progresif yang bahwa hukum harus peka dengan aspek-aspek lain diluar lingkup
hukum itu sendiri. Dan hukum harus mampu menciptakan pertimbangan-pertimbangan
hukum diluar konteks hukum positif atau terobosan-terobosan guna mewujudkan
keadilan sosial.
B.
Implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam penegakan administrasi
kependudukan terhadap hak-hak keperdataan anak
Sebagai contoh permberlakuan hukum progresif
yang nyata dalam ranah hukum yakni putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan pada pasal 43 ayat (1) . bahwa dalam hal ini terdapat
penjaminan hak keperdataan untuk anak diluar nikah.Putusan Mahkamah Konstitusi
ini mempunyai dampak yang luas terhadap hak-hak keperdataan anak. Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ini bertentangan dengan UUD 1945.
Isi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
adalah bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1974 tidak mempunyai
kekuatan mengikat sepanjang dibuktikan bahwa laki-laki itu ayahnya menurut ilmu pengetahuan. Sehingga
dari putusan ini otomatis berefek kepada administrasi kependudukan anak di luar
nikah yang secara tidak langsung berdampak pada hak-hak keperdataan anak
seperti hak waris, hak nafkah, dan hak pengakuan atas identitas. Berdasarkan putusan tersebut terdapat
implikasi yang meliputi penjaminan hak-hak anak di luar nikah baik dari segi
hukum positif Indonesia maupun hukum Islam, dan hukum progresif.
Putusan Mahkmah Konstitusi ini berdampak pada
administrasi kependudukan anak di luar nikah tersebut. Di Indonesia,
administrasi kependudukan diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia). Dengan
adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka ayah anak di luar nikah selama si
anak dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis maka akan
masuk ke dalam administrasi kependudukan yang berarti ayah si anak di luar
nikah akan tercatat didalam akta kelahiran dan identitas dari anak diluar nikah
tersebut. Adanya pencatatan sipil ini dapat menjamin kepastian hukum bagi si
anak sehingga keadilan bagi si anak untuk mendapatkan hak-hak sebagai anak
dapat diakui.
Pengakuan anak menurut Penjelasan Pasal 49
ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
ialah pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar perkawinan sah
atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Adanya putusan Mahkamah
Konstitusi ini berakibat pada pergeseran pengertian serta maksud dan
tujuannya. Dengan adanya pengakuan
ayahnya terhadap anak di luar nikah maka anak tersebut dapat menggunakan nama
keluarga ayahnya. Menurut Pasal 39 Burgerlijk Wetboek, anak yang masih minderjaring(di bawah umur/ belum
dewasa) yang sudah diakui, jika ia berkehendak untuk kawin, tetap memerlukan
izin dari ayah yang telah mengakuinya dan dari ibunya.
Meskipun Anak
luar kawin dapat diakui selain dengan cara pengakuan anak tetapi melalui hal
lain yang telah diatur dalam KUHPerdata seperti pengesahan anak. Pengesahan
anak luar kawin adalah suatu upaya hukum (
rechtsmiddel)
untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai anak sah melalui perkawinan
yang dilakukan oleh orang tuanya
.
Namun Pasal 283 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa anak zina (
overspeligkind) tidak mungin atau tidak
dapat diakui secara sah, meskipun orang tuanya kawin di kemudian hari. Di
samping itu, anak sumbang pun tidak dapat diakui secara sah, kecuali orang
tuanya melangsungkan perkawinan setelah memperoleh dipensasi dari Presiden.
Oleh karena pengakuan dilakukan pada saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 283
yo. 273 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Walaupun anak luar nikah yang
dimaksud Burgerlijk Wetboek dengan anak di luar nikah yang dimaksud Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 berbeda namun kedua-duanya
menyangkut anak hasil zina. Jika maksud dari Burgerlijk Wetboek bahwa anak di
luar nikah ialah anak zina
atau anak sumbang
,
anak di luar nikah menurut Mahkamah Konstitusi ini tidak hanya anak zina namun
juga anak hasil hubungan ‘gelap’ akibat hubungan seksual yang dilakukan tanpa
ikatan perkawinan baik secara undang-undang maupun agama.
Sebenarnya
pengakuan anak terhadap anak di luar nikah telah diatur dalam peaturan
perundang-undangan lain melalui pengakuan anak. Namun, sebagai upaya adanya
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya maka pengakuan anak harus ada kesukarelaan dari
ayah atau bapaknya untuk mengakuinya dan persetujuan dari ibunya. Berbeda
halnya dalam putusan MK ini, tidak memerlukan kesukarelaan dari ayahnya ataupun
persetujuan ibunya melainkan si anak lah yang harus berusaha untuk mebuktikan
dengan ilmu pengetahuan atau secara biologis terhadap ayahnya.
Setiap anak mempunyai hak mendapatkan perlindungan akan
segala hal, termasuk di dalamnya hak mendapatkan identitas diri. Berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
akan ada perubahan penyebutan didalam akta kelahiran anak diluar nikah,
ini untuk menjaga perkembangan kejiwaan anak, tanpa menghiraukan bagaimana
proses ia dilahirkan. akta kelahiran sangat
dibutuhkan bagi seorang anak. Baik untuk kepentingan sekolah atau yang lainnya.
Undang Undang No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak juga mengatur hal ini.
Upaya memberi akta kelahiran
untuk anak di luar nikah, adalah untuk menghormati kepentingan dan hak seorang
anak. Pertimbangan tersebut diambil dengan alasan terlepas dari soal prosedur / administrasi perkawinannya,
anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian,
maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal
anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Namun apabila di dalam akta
kelahiran anak dicantumkan ada kata-kata anak di luar nikah yang sah atau
kata-kata yang dipersamakan dengan hal tersebut maka dapat berdampak pada
psikologis anak. Pada saatnya nanti ketika anak-anak menjalani masa sekolah, berinteraksi
dengan temannya maka dapat saja anak di luar nikah ini diejek oleh temannya.
Pengakuan anak di luar pernikahan yang sah
memberikan hak keperdataan bagi anak yang selama ini tidak diakui negara.
Dengan diakuinya hak keperdataan anak di luar nikah ini maka anak akan
mendapatkan hak waris tidak hanya dari ibunya melainkan juga dari bapaknya.
Walaupun memang istilah ‘keperdataan’ tidak bisa otomatis dianggap mempunyai
hubungan nasab (keturunan) antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, namun
putusan Mahkamah Konstitusi ini ditafsirkan sampai ke arah tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial
Review Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berarti mengakui adanya anak di luar nikah. Dengan diakuinya anak di luar nikah
ini berdampak pada hak-hak keperdataan anak di luar nikah ini harus diakui.
Sebenarnya pengaturan mengenai anak luar kawin terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang tertuang dalam Pasal 862 yaitu: Jika si meninggal meninggalkan anak-anak di
luar nikah yang telah diakui dengan sah, maka warisan harus dibagi dengan cara
yang ditentukan dalam empat pasal berikut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pembagian waris bagi anak di luar nikah ialah sepertiga dari bagian
yang mereka sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak yang sah. Anak di
luar nikah mendapatkan warisansetengah dari warisan apabila si meninggal tak meninggalkanketurunan maupun
suami atau isteri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas
maupun saudara laki atau perempuan atau keturunan mereka. Hal ini tertuang
dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Walaupun anak luar kawin
telah diakui dengan sah namun tetap ada pembedaan porsi warisan dibandingkan
dengan anak hasil perkawinan sah.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini
maka apabila anak di luar nikah ini terbukti melalui ilmu pengetahuan bahwa
merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris. Namun menurut
penulis hak waris yang diberikan kepada anak di luar nikah besarnya tidak sama
dengan anak dari perkawinan yang sah seperti halnya yang terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dimana anak luar nikah yang sah hanya mempunyai hak
waris maksimal sepertiga dari bagian anak sah. Hal ini juga demi rasa keadilan
bagi anak sah walaupun dirasa kurang memihak pada anak di luar
nikah.Pelaksanannya karena untuk memperoleh surat keterangan warisan diperlukan
kartu keluarga sedangkan anak di luar nikah yang dimaksud putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 kedua orang tuanya tidak menikah sehingga tidak mempunyai
kartu keluarga maka dapat dilaksanakan dengan menggunakan penetepan pengadilan
yang kemudian dapat diturunkan ke surat keterangan warisan. Namun, sekarang ini
belum ada peraturan pelaksana dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Implikasi dari
adanya putusan MK tersebut ialah pengadilan dapat kebanjiran putusan MK
tersebut baik pengadilan agama bagi penganut agama Islam maupun pengadilan
negeri bagi penganut agama non-Islam
mengenai anak luar kawin untuk memperoleh hak waris setelah bapaknya ditetapkan
sebagai ayah biologisnya lewat sidang permohonan penetapan pengesahan asal-usul
anak. Namun hubungan hukum ini belum menjawab mengenai kepastian timbulnya
hak-hak keperdataan baru akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan
tersebut penulis merumuskan simpulan sebagai berikut:
1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VII/2010
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung nilai-nilai progresivisme.
Nilai-nilai tersebut terdapat dalam penafsiran-penafsiran hukum yang dilakukan
oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengambil putusan atas permohonan
pengujian Undang-undang perkawinan tersebut. Mahkamah Konstitusi tidak sekedar
memutuskan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum positif saja melainkan
menilik atas hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan norma-norma hukum bahkan asas-asas hukum demi
menciptakan keadilan bagi kedudukan anak diluar nikah.
2. Dengan progresivisme yang dianut oleh Mahkamah Konstitusi
dalam putusan terhadap pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menimbulkan implikasi yang menuai kritik dari
masyarakat. Namun putusan tersebut merupakan titik tolak awal dalam
perlindungan anak diluar nikah terhadap kesetaraan hak dengan anak-anak lain.
Dalam putusan Mahkamah Kontsitusi berarti anak dapat mendapatkan pengakuan
namun yang berusaha membuktikan adalah anak.
Implikasinya dalam hal ini harus ada penyetaraan pengakuan anak yang
diluar nikah dalam administrasi
kependudukan. Namun efek domino akan tetap berlanjut dengan konsekuensi hak
anak lainnya ketika pengakuan tersebut diberlakukan, seperti contohnya hak waris
dan hak pemenuhan terhadap kesejahteraan hidup sang anak. Untuk itu
progresivisme yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang merupakan wujud
perlindungan terhadap anak-anak diluar nikah tetap saja perlu pengutaraan dan
pembatasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dari peraturan tersebut.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan beberapa hal
sebagai berikut:
Menilik bahwa Negara
Indonesia merupakan negara yang majemuk dalam hal kebudayaan dan agama maka
pro-kontra yang mewarnai putusan judicial review. Undang-undang Perkawinan
tersebut harus disikapi secara benar dan bijak agar tidak menimbulkan keretakan
dalam kehidupan bernegara. Sehingga pembuatan peraturan yang mengatur mengenai
ketentuan pelaksana dari putusan tersebut dengan disertai penundukan hukum terhadap Warga Negara yang ingin
menyelesaikan permasalahan tersebut secara hukum agama ataupun dengan ketentuan
peraturan hukum positif. Sehingga peraturan tersebut dapat dilaksanakan dan dapat berkonsolidasi demi kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Iriyanto
A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum dan Hak
Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Bandung: P.T. Alumni.
Jimly
Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia-Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Johnny
Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang : Bayumedia Publishing.
Moh.
Mahfud MD. 2010. Konstitusi dan Hukum
dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.
Satjipto
Raharjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah
Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing
Soetandyo
Wignyosoebroto dalam Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang dan Keluarga ( Personen En Familie-Recht). Surabaya: Airlangga
University Press.
Perundang-undangan
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor :46/PUU-VIII/2010 mengenai judicial review
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Makalah
Habib
Adjie.2012. Dampak Putusan Mahkamah Konstutisi Terkait Pengujian Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Internet
Artikel
Moh.
Mahfud MD. Penegakan Keadilan di
Pengadilan. Artikel di harian Kompas. 22 Desember 2008
Jawa
Pos. Sabtu 18 Februari 2012. Hlm 19
Republika,
Ahad, 19 Februari 2012, hal. A2.